![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2014/12/1812141418888697398109045-767x510.jpg)
Kawasan karst Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul mempunyai sumberdaya air tanah sangat potensial. Permasalahannya terletak pada akses air tanah tersebut karena kedalamannya bervariasi yaitu antara 50-100 m di bawah permukaan tanah. Oleh karenanya, pemerintah daerah setempat telah melakukan upaya pemompaan sungai bawah tanah Bribin, Seropan, Baron, dan Ngobaran (merupakan satu sistem Bribin-Baron) serta pembangunan jaringan distribusi.
“Karena tipisnya lapisan tanah, konsentrasi aliran di daerah epikarst dan resapan air melalui ponor akuifer karst sangat rentan terhadap pencemaran,”papar M. Widyastuti pada ujian terbuka program Pascasarjana Fakultas Geografi UGM, Rabu (24/12) di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi. Widyastuti pada ujian tersebut mempertahankan disertasinya berjudul “Kajian Kerentanan Airtanah Terhadap Pencemaran di Daerah Karst Gunungsewu (Studi di Daerah Aliran Sungai Bawah Tanah Bribin Kabupaten Gunungkidul dan Wonogiri)”.
Widyastuti menjelaskan sungai bawah tanah (SBT) Bribin mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumberdaya air baku, dan saat ini telah dimanfaatkan serta dikembangkan untuk mendukung penyediaan air. Di sisi lain penggunaan lahan di atasnya mempunyai potensi tinggi sebagai sumber pencemar, seperti permukiman dengan sistem sanitasinya dan kegiatan pertanian. Oleh karena itu, penting sekali melindungi SBT Bribin untuk keberlanjutan fungsi baik kuantitas maupun kualitas pengelolaannya terhadap bahaya pencemaran.
“Langkah penting yang bisa dilakukan untuk melindungi airtanah karst yaitu dengan zonasi kerentanan airtanah terhadap pencemaran,” imbuh dosen Fakultas Geografi UGM itu.
Penelitian yang dilakukan Widyastuti ini menekankan pada kerentanan intrinsik air tanah terhadap pencemaran. Metode COP (concentration of flow, overlaying layer, dan precipitation) merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk kajian kerentanan intrinsic akuifer karst (karbonat) di dalam COST 620.
Hasil penelitiannya menunjukkan sebagian besar daerah penelitian mempunyai tingkat kerentanan yang sangat tinggi meskipun ada bagian wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan yang rendah hingga sedang. Persentase luasan kerentanan airtanah di daerah penelitian untuk kelas kerentanan sangat tinggi 46,74%, tinggi 6,78%, sedang 24,79%, rendah 12,45% dan sangat rendah 6,39%.
“Hasil zonasi kerentanan tersebut dikuatkan dengan validasi menggunakan hidrograf aliran, khemograf dan uji perunut yang menunjukkan respon aliran atau kualitas airtanah yang cepat terhadap imbuhan hujan atau zat perunut pada daerah yang mempunyai kerentanan tinggi,”pungkas Widyastuti. (Humas UGM/Satria)