
YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada mengirim dua orang pakar odontologi forensik untuk membantu Tim Disaster Victim Identification (DVI) dalam mengidentifikasi jenazah penumpang Air Asia QZ8501 melalui gigi yang dimiliki para korban. Dua orang yang dikirim tersebut adalah Prof. Dr. drg. Sudibyo, SU., Sp. Perio (K) dan Dr.drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio (K).“Universitas Gadjah Mada mengirim dua orang pakar odontologi forensik untuk membantu proses identifikasi korban Air Asia,” kata Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., kepada wartawan, Senin (5/1), di kampus UGM.
Dari kedua orang pakar odontologi forensik dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM ini, Sudibyo sudah terlibat langsung dalam tim DVI Polda Jatim bahkan ikut membantu mengidentifikasi jenazah penumpang Air Asia sejak Jumat lalu. Salah satu korban yang berhasil diidentifikasi langsung oleh Sudibyo adalah Hayati Lutfiah Hamid, salah satu penumpang Air Asia QZ8501.
Menurut Sudibyo, tidak mudah mengidentifikasi jenazah penumpang Air Asia karena umumnya kondisi wajah korban yang rusak karena mengalami benturan dan terendam di air laut. “Sekarang tim DVI memasuki tahapan post morten identification, disana berkumpul ahli-ahli forensik, ahli DNA, dan ahli odontologi forensik,” kata Sudibyo usai bertemu dengan Rektor.
Pria yang pernah ditunjuk sebagai Ketua Tim Odontologi Forensik RS Sardjito Yogyakarta saat mengidentifikasi jenazah penumpang pesawat Garuda GA 200 yang terbakar pada tahun 2007 silam ini menuturkan untuk mengidentifikasi korban penumpang pesawat Air Asia yang jatuh di Selat Karimata membutuhkan dua syarat, yakni data primer berupa DNA, sidik jari dan gigi korban. Selanjutnya data sekunder berupa dokumen penting yang mendukung proses identifikasi korban.
Dari berbagai data tersebut, Sudibyo menegaskan identifikasi yang paling handal adalah lewat pemeriksaan gigi korban. Pasalnya gigi masih dalam kondisi utuh dan masih bisa diidentifikasi walaupun kondisi korban dalam keadaan terbakar, terbentur maupun terendam di air. “DNA memang bisa, tapi butuh waktu lebih lama,”ujarnya.
Menurut Sudibyo, proses identifikasi korban lewat gigi sebenarnya tidak sulit dengan cara mengetahui cerita dari para keluarga mengenai kondisi gigi korban selama masih hidup. “Cerita keluarga sudah bisa memberikan bantuan bagi kita mengidentifikasi. Misalnya anak saya giginya tidak rata, lima bulan lalu gigi rahang pernah patah atau salah satu giginya pernah dicabut ke dokter gigi,” terangnya.
Meskipun kemungkinan korban tidak pernah memeriksakan giginya ke dokter gigi, imbuhnya, cerita keluarga dekat mengenai kondisi gigi korban sangat membantu tim.” Itulah yang saya lakukan saat pertama kali identifikasi Hayati Lutfiah Hamid, “ katanya.
Inisiatif Sendiri
Meski menyempatkan pulang selama dua hari di Yogyakarta, Sudibyo berencana akan berangkat kembali ke Surabaya pada besok Selasa, 6 anuari. Sudibyo menuturkan dirinya masih dibutuhkan untuk membantu proses identifikasi korban yang belum semua penumpang berhasil ditemukan dan baru beberapa jenazah yang sudah teridentifikasi.
Sebelum bergabung dengan tim DVI Polda Jatim, kata Sudibyo, keberangkatan Sudibyo ke Surabaya atas inisiatif dirinya sendiri dan menggunakan dana dari kantong pribadi. Sebagai anggota tim odontologi forensik nasional, dirinya merasa terpanggil apabila terjadi bencana di Indonesia yang memang membutuhkan keahliannya di bidang forensik gigi. Hal itu yang ia juga lakukan saat membantu korban gempa Bantul tahun 2006 dengan berhasil melakukan identifikasi 17 korban yang belum dikenal, korban awan panas di bungker merapi tahun 2006, dan identifikasi jenazah Mbah Marijan setelah saat erupsi Merapi tahun 2010. “Apa yang saya lakukan karena murni panggilan hati,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)