Bangkitlah pertanian, kepada para aktivis pembangunan pertanian (pertanian-perikanan-kehutanan) untuk menyadari bahwa barangkali inilah berkah bagi kebangkitan sektor pertanian Indonesia, setelah sekian lama hanya ditempatkan sebagai model pembangunan yang dikotomis antara sektor pertanian dan industri, tradisional dan modern, domestic dan foreign-based, labor dan capital-intensive, serta skilled-unskilled based industry. Demikian ajakan Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc dalam releasenya (31/08/05)
Menurut Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan ini, dikotomi ekonomis antara pertanian dan industri yang bias berlebihan bagi sektor ekonomi, at all cost, telah secara langsung memarjinalkan sektor pertanian. Kulminasi dari segala macam bias berlebihan tersebut adalah proteksi terhadap nilai tukar rupiah sebagaimana terjadi selama ini. “Bias-bias tersebut telah menjerumuskan pertanian menjadi sektor ekonomi yang tidak pernah menarik, terutama bagi angkatan muda, dan sekedar menjadi tumbal pembangunan,” kata pak Maksum.
Lebih lanjut pak Maksum menuturkan, dalam kesedihan yang mendalam karena merosotnya nilai tukar hari-hari ini, tentu saja menjadi amanat bersama bagi bangsa ini untuk menggenjot sektor pertanian. Keterpurukan rupiah ini tentu saja menyebabkan semakin mahalnya barang import. Jelas sekali industri berbasis import (import-based) menjadi semakin mahal operasinya. “Pada saat yang sama, sektor pertanian sebagai sektor yang penuh muatan lokal (domestic-based industry) amat meningkat daya saingnya baik dalam tingkat pasar lokal (domestic market) maupun dalam perebutan pasar global,” jelas pak Maksum.
Ditambahkan pak Maksum, melalui penguatan pertanian dalam upaya substitusi import dan sekaligus ekspansi eksport, insya allah penghematan dan penimbunan devisa bisa dilakukan dengan lebih baik dan pada akhirnya mampu menormalisir pasar dollar menuju nilai tukar yang lebih masuk akal. “Penguatan sektoral pertanian yang tidak pernah dilirik oleh Negara ini sungguh mempunyai potensi kontribusi yang sangat nyata terhadap kesetimbangan perdagangan yang menjanjikan kewajaran nilai tukar,” tegas pak Maksum. (Humas UGM)