Prevalensi gangguan mental di DIY tergolong tinggi terutama untuk gangguan mental berat. Data Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan mental DIY sebesar 2,7 per 1000 penduduk. Angka yang lebih tinggi dari prevalensi gangguan mental nasional sebesar 1,7 per 1000 penduduk. Bahkan data profil kesehatan DIY tahun 2012 menunjukkan bahwa gangguan mental termasuk dalam sepuluh besar kasus penyakit yang didiagnosis pada pasien rawat jalan Puskesmas.
“Kondisi ini memperlihatkan bahwa wilayah DIY memerlukan upaya penanganan pasien dengan gangguan mental secara komperehensif,” kata Azlizamani Zubir, Jum’at (16/1) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Psikologi UGM.
Dosen Kolej Sastera dan Sains Universiti Utara Malaysia ini menuturkan untuk mendukung pemulihan pasien gangguan mental diperlukan pengobatan medis yang tepat. Hanya saja saat ini belum seluruh penderita memperoleh layanan tersebut. Bahkan masih saja dijumpai di masyarakat fenomena pemasungan pasein oleh keluarga. Sementara di sisi lain jumlah fasilitas maupun tenaga medis untuk penaganan penderita gangguan mental masih terbatas.
“Masih ditambah dengan adanya stigma negatif masyarakat semakin membuat penderita tidak tertangani dengan baik,” jelasnya.
Menurutnya niat keluarga untuk mencari pertolongan bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan mental merupakan hal yang patut diperhatikan. Dengan peran keluarga sejak dini dalam mencari pertolongan untuk pengobatan medis diharapkan dapat menjadi langkah penanganan gangguan mental di DIY secara lebih komperehensif.
Hasil penelitian yang dilakukan Zubir pada 101 keluarga di DIY dengan anggota keluarga yang rentan mengalami gangguan mental menunjukkan bahwa keyakinan terhadap penyebab gangguan mental dapat mempengaruhi niat pencarian pertolongan pada psikiater atau pada ahli pengobatan non-medis. Keyakinan yang berbeda pada penyebab gangguan mental akan memberikan dampak yang berbeda terhadap niat mencari pertolongan. Misalnya, ketika gangguan mental diyakini sebagai bagian dari penyakit medis maka niat pencarian pertolongan lebih mengarah ke psikiater. Tetapi saat gangguan mental diyakini sebagai suatu gangguan dari hal-hal gaib, maka niat mencari pertolongan ditujukan pada dukun ataupun kiai.
“Rata-rata niat pencarian pertolongan tertinggi ke psikiater, lalu diikuti kiai dan dukun,” jelasnya.
Kendati begitu, terdapat perbedaan niat mencari pertolongan pada masyarakat desa dan kota. Pada masyarakat desa niat mencari pertolongan lebih banyak mengarah pada kiai, sementara masyarakat kota cenderung kepada psikiater. Hal tersebut terjadi karena masyarakat desa cenderung lebih berkeyakinan bahwa gangguan mental berawal dari gangguan gaib.
Ditambah dengan ciri masyarakat desa yang religius mendorong niat penyembuhan melalui penggunaan ayat-ayat suci oleh kiai. Sementara itu tidak ada perbedaan niatan pencarian pertolongan pada dukun dan psikiater pada masyarakat kota dan masyarakat desa.
Sementara hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa stigma di masyarakat turut mempengaruhi niat mencari pertolongan apabila terdapat perilaku serupa dari dalam masyarakat. Selain itu ketersediaan layanan kesehatan dan biaya pengobatan ikut mempengaruhi niat keluarga mencari pertolongan bagi penderita gangguan mental. (Humas UGM/Ika)