![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/01/21011514218246571478330135-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Angka kematian ibu di DIY belum menampakkan adanya tanda penurunan secara signifikan. Berdasarkan data dari Dinkes DIY, sepanjang tahun 2014, angka kematian ibu mencapai 40 kasus dari sebelumnya 46 kasus di tahun 2013. Namun angka tersebut sama dengan angka kematian ibu pada tahun 2012. Di lima kabupaten/kota, angka kematian ibu yang mengalami penurunan ada di Kota Yogyakarta, Kulonprogo dan Gunungkidul. Masing-masing menunjukkan tren menurun. Di Yogyakarta hanya terdapat 2 kasus kematian ibu dari tahun sebelumnya ada 9 kasus. Kulonprogo terdapat 5 kasus, sedangkan Gunungkidul 7 kasus.
Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK), Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Laksono Trsinantoro, M.Sc., Ph.D., mengatakan 60 persen kasus kematian ibu umumnya disebabkan keterlambatan rujukan. Menurutnya, upaya menurunkan angka kematian ibu ini tidak hanya menjadi urusan Dinas Kesehatan namun perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. “Yang pastinya membutuhkan peran pemimpin di pemerintahan dan sektor kesehatan untuk mencegah kematian ibu,” kata Laksono dalam Diskusi Tren Kematian Ibu di DIY yang berlangsuing di Fakultas Kedokteran, Rabu (21/1).
Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, mengatakan tidak mudah menurunkan angka kematian ibu meski jumlah dokter spesialis kandungan di DIY makin bertambah. Hasto menghitung, jumlah dokter obsgyn di DIY bertambah dua kali lipat dibanding 10 tahun lalu. Di tahun 2005, ada 46 dokter spesialis kandungan, tahun 2015 bertambah menjadi 96 orang.
Meski demikian, Hasto mengatakan dukungan kepala daerah menurunkan angka kematian ibu melibatkan dokter spesialis kandungan sangat membantu. Pengalamannya saat awal menjabat Bupati, Hasto menuturkan ia berhasil menurunkan kasus kematian ibu di Kulonprogo menjadi 3 kasus di tahun 2012. Salah satunya, menyiapkan dokter spesialis kandungan siaga 24 jam. Namun begitu, menurutnya keberhasilan menurunkan angka kematian ibu harus didukung dengan keberhasilan mengurangi angka kawin usia muda dan mensukseskan program keluarga berencana, “Variabel yang paling dekat faktor kematian ibu ini bergantung keberhasilan pemakaian alat kontrasepsi dan angka usia kawin muda,” tegasnya.
Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes DIY, Inni Hikmatin, sependapat bahwa penyebab kematian ibu akibat keterlambatan rujukan dari puskesmas atau bidan ke rumah sakit yang sudah dirujuk pemerintah yang dianggap handal dalam menangani kasus ibu melahirkan berisiko. “Soalnya dari 40 kasus, sebanyak 34 kematian terjadi di rumah sakit dan 3 kematian di rumah,” katanya.
Inni menyebutkan kematian ibu melahirkan dikarenakan akibat sebelumnya terkena penyakit komplikasi, pendarahan, penyakit jantung, syok, emboli, TB paru, asma, hyperthyroid. “Kematian terjadi pada saat nifas dan masa kehamilan,” katanya.
Peneliti PKMK UGM, Sitti Noer Zaenab, mengatakan semestinya ibu hamil yang bermasalah segera dirujuk ke rumah sakit sebelum hari perkiraan lahir. Dia menyebutkan, di awal bulan Januari ini sudah ada 3 kasus kematian ibu di DIY, “Salah satunya akibat pendarahan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)