Suara-suara minor tentang masa depan pariwisata Indonesia kian terdengar kuat. Banyak yang ragu apakah industri ini masih bisa bangkit setegak ketika krisis ekonomi belum memuncak. Keraguan ini menjadi menjadi-jadi setelah tampak hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam angka kunjungan wisman selama lima tahun terakhir. Singkatnya, pariwisata nasional sedang menemui jalan buntu. Hal tersebut diungkapkan Dr. Janianto Damanik Peneliti di Pusat Studi Pariwisata UGM (6/9/05).
Menurutnya, kebuntuan inilah yang harus ditembus bersama-sama oleh pemangku kepentingan. Banyak hal yang harus diperhitungkan. Faktor promosi, misalnya sangat menentukan keberhasilan di dalam meraih pasar. Jujur saja, langkah promosi wisata kita masih terkesan setengah hati dan tidak disiapkan secara matang.
Dikatakannya, betul bahwa kita cukup rajin ikut pameran di luar negeri, tapi itu satu hal. Yang tidak kalah penting adalah membangun jejaring antarpelaku. “Kegiatan promosi tidak bisa berhenti dan cukup pada keikutsertaan di ajang pameran wisata luar negeri, dukungan dana industri dan pemerintah, tetapi harus dilanjutkan dengan kegiatan terkait lainnya,” katanya.
Dijelaskannya bahwa di sinilah pentingnya penguatan jejaring promosi. Misalnya, mendorong kedutaan-kedutaan kita di luar negeri untuk lebih aktif terlibat dalam kegiatan promosi ini. Diplomat kita tidak cukup dengan bekal kecakapan dalam diplomasi politik. “Yang mungkin lebih penting adalah kompetensi di bidang lobi ekonomi. Targetnya adalah menarik badan-badan dan pebisnis internasional untuk menyelenggarakan MICE (meeting, incentive, congress and exhibition) di Indonesia. Target itu cukup beralasan, karena kita memiliki infrastruktur dan daya pikat wisata yang terandalkan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, selain itu, banyak mahasiswa kita diluar negeri mengadakan acara kangen-kengenan. Tidak sedikit rekan mereka dari berbagai negara asing sering ikut untuk mendapat informasi tentang negeri kita. Kampus-kampus juga memfasilitasi pentas budaya yang digelar oleh mahasiswa asing. Pengamatan saya sendiri ketika mengadakan hajatan seperti itu cukup menarik, karena aula kampus selalu dipenuhi oleh mahasiswa setempat. Rasa ingin tahu mereka besar. “Harap diingat bahwa mahasiswa seperti inilah pasar potensial pariwisata kita ke depan. Karena itu sudah seharusnya dibentuk jejaring dan kegiatan promosi untuk menggarap pasar potensial tersebut,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, jangan lupa beban promosi tidak bisa ditimpakan sepenuhnya ke pundak industri dan Departemen Budpar. Komitmen pemangku kepentingan (stakeholder) lain juga sangan dituntut. “Dalam hal ini maskapai penerbangan termasuk barisan depan. Garuda Indonesia perlu terus memelihara rute internasionalnya, syukur-syukur diperluas, agar wisatawan dan calon wisman punya ingatan bahwa kita punya maskapai penerbangan yang memudahkan akses mereka ke Indonesia,” tuturnya
Ditambahkannya, baru-baru ini diberitakan bahwa pihak Garuda Indonesia berencana untuk menghentikan penerbangan langsung Jogja-Singapura dan Jogja- Kuala Lumpur karena load factor yang rendah. Kalau benar demikian, tentu sangat disayangkan karena jelas akan melemahkan jejaring promosi. Kalau bicara tentang penguatan jejaring promosi, maka seharusnya jumlah kursi terjual yang rendah tadi disubsidi dari anggaran promosi pariwisata kita. Tentu tidak bisa menguntungkan, melainkan sekedar menutupi biaya operasional. Targetnya adalah agar Garuda bisa jalan terus. Katakan ini sebagai uji-coba untuk market formation. Dalam 4-5 tahun kedepan akan terlihat hasilnya apakah terjadi perubahan yang berarti atau tidak.
“Saya tidak mengatakan hasilnya akan seratus persen. Tetapi melakukan inovasi promosi melalui pengatan jejaring akan lebih produktif daripada sekedar mengulangi modus-modus promosi yang konvensional,” tegasnya pak Damanik. (Humas UGM)