YOGYAKARTA – Ratusan Akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta mendesak Presiden Joko Widodo memegang teguh komitmen pemberantasan korupsi sebagai mandat konstitusi dan spirit reformasi. Namun berbagai persoalan hukum yang melandai institusi KPK dan Polri akhir-akhir ini, akademisi menilai berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi. Bahkan akhir-akhir ini ada kecenderungan terjadi politisasi hukum yang berdampak pada merosotnya kredibilitas lembaga negara yang bisa melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat hukum.
“Presiden seyogyanya tidak ragu mengambil sikap dan keputusan yang tepat dalam upaya menegakkan hukun dan keadilan,” kata Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dalam menyampaikan pernyataan sikap akademisi DIY atas situasi pelemahan upaya pemberantasan korupsi, Minggu (25/1) di Balairung. Pernyataan sikap tersebut didukung oleh Pimpinan dan Guru Besar UGM, Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Indonesia (Gemati) UGM, dan perwakilan dari UNY, UIN, UII, UMY, UKDW, UMY, UKDW, Universitas Janabadra, dan Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional (STPN).
Dwikorita menambahkan, berkaitan persolan hukum yang terjadi di tubuh KPK dan Polri saat ini pihaknya menghimbau agar hukum ditegakkan, ditaati prinsip-prinsip dasarnya guna mewujudkan keadilan dan mengembalikan lembaga negara sesuai fungsinya dengan mendasarkan pada etika dan konstitusi.
Meski demikian, lanjut Rektor, akhir-akhir ini muncul gejala pengabaian terhadap suara dan aspirasi rakyat di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, padahal dalam sistem demokrasi rakyat adalah subyek penting yang berperan dalam mengontrol penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, Presiden di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan krusial yang terjadi sekarang ini, sebaiknya senantiasa mendengar dan memperhatikan suara dari tokoh-tokoh masyarakat seperti akademisi, LSM, tokoh agama, dan mereka peduli terhadap persoalan bangsa.“Kami yakin rakyat yang berdiri di belakang Presiden,” kata Rektor.
Imunitas Pekerja Anti Korupsi
Sebelum Rektor UGM membacakan pernyataan sikap, beberapa akademisi DIY dan pegiat anti korupsi sepakat untuk melindungi dan mengawal KPK sebagai institusi yang dipercayakan rakyat dalam memberantas korupsi. Mereka sepakat diperlukan adanya hak imunitas bagi komisioner KPK terhadap upaya kriminalisasi. “Di Undang-undang KPK tidak ada pasal imunitas, sehingga rawan dikriminalisasi. Perlu digagas pasal imunitas untuk komisioner KPK,” kata Budi Santoso, anggota Ombudsman RI.
Berbeda dengan Ombudsman, kata Budi, anggota ombudsman justru terdapat perlindungan hukum karena dalam UU Ombudsman, pekerjaan mereka tidak bisa digugat dan di tahan di depan pengadilan.
Direktur Pusat Kajian Anti (Korupsi) UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar mengatakan upaya pelemahan pemberantasan korupsi hampir terjadi di semua negara bahkan kerap terjadi rivalitas dan konflik antar institusi penegak hukum, “Hampir di seluruh dunia, ada bentuk kriminalisasai pemberantasan korupsi. Sehingga perlu prinsip perlindungan kerja dalam upaya pemberantasan korupsi,” ungkapnya.
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso mengatakan perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi akan tetap berlangsung. Meski begitu ia berharap jangan sampai semangat dan upaya pemberantasan korupsi runtuh di era Presiden Joko Widodo.
Ketua Gemati UGM, Dr. Rimawan Pradipto, menyerukan agar Presiden membentuk tim independen dalam menyelesaikan persoalan hukum komisinoer KPK yang ditangani Polri. “Untuk transparansi proses, perlu tim independen. Selain itu perlu ada perlindungan terhadap pekerja dan pegiat anti korupsi,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)