YOGYAKARTA – Pergantian Raja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta diketahui menghasilkan sebuah produk budaya baru. Salah satunya wayang wong gaya Yogyakarta. Kesenian yang awalnya hanya dipertunjukkan dalam upacara ritual penting kenegaraan. Namun pada tahun 1918 pendiri Kridha Beksa Wirama (KBW), G.P.H Tejakusuma dan P. Soerjodiningrat yang tak lain adalah Putra Sultan Hamengku Buwana VII berhasil membawa seni tari istana ke luar kraton atas dorongan masayarakat dengan seijin Sultan. “Semenjak itulah wayang wong berhasil menembus tembok istana dan mendapat sambutan positif dari kalangan masyarakat biasa,” terang Drs. Supadma., M. Hum dalam ujian terbuka promosi doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (28/1).
Dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta ini menerangkan, dalam perkembangannya, wayang wong ditanggapi dengan berbagai bentuk turunan. Tanggapan atas wayang wong juga muncul di daerah pedesaan seperti Gunungkidul, Bantul dan Kulon Progo dengan dikelola oleh para dalang wayang purwo. “Fenomena ini menunjukkan perkembangan wayang wong menyangkut dimensi ruang, waktu, maupun bentuk pergelarannya,” ujarnya.
Dalam disertasi Supadma yang berjudul “Wayang Wong Kraton di Kasultanan Ngayogyakarta dan Perkembangannya dalam Bentuk Wayang Wong Pedhalangan” Supadma mengatakan raja kraton menciptakan wayang wong dengan joged Mataram yang memiliki falsafah sebagai peletak dasar untuk menata kehidupan Kasultanan Ngayogyakarta. “Sikap demokratis para sultan juga tercermin dalam proses penciptaan karya seni wayang wong,” ujar Supadma.
Dia menambahkan, Sri Sultan Hamengku Buwana I, V, VII dan VIII bersama abdi dalem bekerjasama menciptakan setiap lakon wayang wong untuk keperluan pementasan kraton. Wayang wong muncul pertama kali di dalam kraton Kasultanan Ngayogyakarta pada masa Hamengku Buwono I tahun 1757 kemudian dikembangkan oleh sultan-sultan selanjutnya. Pada masa Hamengku Buwana V penulisan naskah wayang wong yang disebut serat kandha menuju kesempurnaan. Kemudian pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII dilengkapi dengan penulisan serat pocapan sebagai materi dialog. Pengembangan wayang wong berlangsung pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII sampai pada masa Hamengku Buwana X.
Di dalam kraton, pengembangan wayang wong dipimpin langsung oleh Sultan dengan bantuan pakar budaya kraton dalam bidang-bidang tertentu. Apabila Sultan berkenan mengadakan pembaruan dan penyesuaian wayang wong dalam lakon-lakon tertentu maka para abdi dalem berpedoman pada lakon yang telah ada kemudian mengubahnya sesuai dengan kondisi waktu itu.
Pada masa kekuasaan Hamengku Buwana VII, wayang wong kraton dikelola oleh masyarakat di luar istana. KBW adalah salah satu organisasi pengelola wayang wong yang berhasil memperbaharui metode pengajaran tari, menghasilkan gendhing baru, serta menyempurnakan tata busana wayang wong. Setelah kasultanan Ngayogyakarta memasuki masa pemerintahan Hamengku Buwana VII, penyempurnaan wayang wong mencapai masa keemasannya.
Wayang wong juga dikelola oleh masyarakat di wilayah pedesaan di bawah pengaruh para dalang wayang purwa. “Para dalang ini dulunya adalah abdi dalem yang berkesempatan untuk terlibat dalam pertunjukkan wayang wong kraton,” katanya.
Dengan pengalaman yang mereka dapat, akhirnya para dalang berinsiatif menghidupkan wayang wong di pedesaan bersama masyarakat desa dengan sebutan wayang wong pedhalangan.
Perkembangan budaya kraton dan budaya rakyat berinteraksi secara dialektis sehingga membentuk ekspresi budaya yang saling menjaga identitas budaya masing-masing. Wayang wong kraton dikembangkan dengan cara mulyakaken, kawangun, mutrani, dan ngleluri. Sementara wayang wong pedhalangan dikembangkan dengan model pembelajaran asih, asuh, dan asah dengan pertimbangan negara mawa tata-desa mawa cara. “Target pengelolaan wayang bukan pada produk tetapi lebih kepada misi untuk menjaga keberlanjutan kehidupan kesenian sebagai kegiatan non profit,” pungkasnya. (Humas UGM/Izza)