Penurunan kinerja perusahaan akibat tekanan krisis ekonomi yang semakin berat, jika terjadi secara terus menerus maka secara langsung dapat menurunkan daya menghasilkan kas perusahaan. Di lain pihak, pembayaran angsuran utang dalam mata uang asing jumlahnya akan mengalami peningkatan akibat terjadinya depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing. “Secara teoritis, pengaturan laba yang menaikkan laba perusahaan tidak akan berpengaruh terhadap aliran kas total perusahaan. Dengan demikian, pada saat aliran kas total mengalami penurunan dan atau jika penurunan kinerja akuntansi perusahaan tidak dapat dihindari dengan pengaturan laba, maka manajemen dengan terpaksa harus menerima kegagalan mempertahankan kinerjanya yaitu mengalami pelanggaran kontrak ulang”, ungkap Drs. Sutrisno, M.Si., Akt saat melakukan ujian doktor hari Senin (12/9) di ruang seminar lantai V Gedung Pascasarjana UGM.
Menurut Sutrisno, restrukturisasi utang dilakukan berdasarkan pertimbangan ekonomi atau hukum, yaitu pihak kreditor memberi konsesi khusus kepada pihak debitor. Tujuan restrukturisasi utang adalah untuk meringankan beban kas debitor dalam jangka pendek dengan mengubah syarat utang, mengurangi atau menunda pembayaran utang demi membantu debitor meningkatkan kondisi keuangannya sehingga pada akhirnya debitor dapat membayar kembali kewajibannya kepada kreditor. “Restrukturisasi utang bagi perusahaan publik di Indonesia pada umumnya dalam bentuk penjadwalan ulang angsuran pokok utang beserta bunganya”, tandas Sutrisno.
Dalam Disertasi berjudul “Analisis Kinerja Akuntansi Dan Daya Menghasilkan Kas Sebagai Tanggapan Atas Pelanggaran Kontrak Utang Dan Restrukturisasi Utang Pada Perusahaan Publik di Indonesia”, Sutrisno menyimpulkan pertama Pertama, mengalami pelanggaran kontrak utang, perusahaan melakukan pengaturan laba yang menaikkan laba lebih besar dibanding dengan perusahaan nonpelanggar kontrak utang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami pelanggaran kontrak utang menaikkan akrual diskresioner rata-rata lebih dari 1,5 kali kenaikan yang dilakukan oleh perusahaan nonpelanggar kontrak utang. Kedua, sebelum mengalami restrukturisasi utang, perusahaan melakukan pengaturan laba yang menurunkan laba lebih besar dibanding dengan perusahaan nonrestrukturusasi utang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami restrukturisasi utang menurunkan akrual diskresioner rata-rata lebih dari 1,8 kali penurunan yang dilakukan oleh perusahaan nonrestrukturisasi utang untuk perioda yang sama. Ketiga, perusahaan yang mengalami pelanggaran kontrak melakukan pengaturan laba lebih besar untuk perioda sebelum mengalami pelanggaran kontrak dibanding dengan setelah mengalami pelanggaran. Keempat, daya menghasilkan kas pada perioda setelah perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang adalah lebih tinggi dibanding dengan perioda sebelum mengalami pelanggaran. Kelima, kinerja akuntansi mempunyai kemampuan lebih kuat dibanding dengan daya menghasilkan kas dalam menjelaskan kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang atau tidak mengalami pelanggaran. Hasil pengujian secara parsial signifikansi koefisien laba lebih besar secara statistis signifikan dibanding dengan koefisien aliran kas operasi. Keenam, perusahaan yang mengalami restrukturisasi utang terbukti melakukan pengaturan laba lebih besar pada perioda setelah perusahaan mengalami restrukturisasi utang dibanding dengan sebelum mengalami restrukturisasi. Ketujuh, daya menghasilkan kas pada perioda setelah perusahaan mnegalami restrukturisasi utang tidak lebih tinggi dibanding dengan perioda sebelum mengalami restrukturisasi. Kedelapan, bukti empiris tidak mendukung hipotesis bahwa daya menghasilkan kas mempunyai kemampuan lebih baik dibanding dengan kinerja akuntansi dalam menjelaskan kemungkinan perusahaan mengalami restrukturisasi atau tidak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa koefisien aliran kas operasi lebih kecil dan secara statistis tidak signifikan dibanding dengan koefisien laba.(Humas UGM)