YOGYAKARTA – Peneliti Studi Manejemen Bencana dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Ristsumeikan Jepang melakukan kolaborasi riset sistem manajemen informasi bencana bagi lokasi yang menjadi tujuan destinasi wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tiga daerah yang dijadikan riset tersebut adalah pantai Parangtritis dan kawasan bangunan cagar budaya Kotagede serta area kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., mengatakan kerjasama riset yang dilakukan antarkedua universitas ini berangkat dari pengalaman negara masing-masing dalam menerapkan manajemen risiko bencana. Diantaranya bencana erupsi Merapi dan gempa bumi di Bantul, gempa kobe, Gempa dan tsunami yang melanda Tohoku Jepang . “Pengalaman Indonesia dan Jepang sebagai daerah rawan risiko bencana sangat penting dalam memberikan pandangan masing-masing dalam pengelolaan risiko bencana,” kata Suratman saat membuka Simposium Publikasi hasil kerja sama riset UGM dan Risumekan, Senin (2/1), di University Club UGM.
Suratman menambahkan, penelitian manajemen bencana ini tidak sekedar untuk kepentingan riset semata namun aplikasinya bisa diterapkan langsung masyarakat yang tinggal di kawasan destinasi wisata. Suratman berharap produk riset ini bisa memberikan masukan kepada pemerintah dalam mitigasi bencana.
Ketua Magister Manajemen Bencana UGM, Prof. Dr. Sudibyakto mengatakan penelitian bersama semacam ini bisa memberikan informasi kelebihan dan kelemahan dari setiap kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia dan Jepang dalam penanggulangan dampak risiko bencana.
Dipilihnya DIY sebagai lokasi utama penelitian, Sudibyakto mengatakan Provinsi DIY rentan terhadap berbagi risiko bahaya bencana alam. Bencana yang rentan dialami sebagian masyarakat DIY adalah gempa bumi dan letusan gunung berapi. Hal itu menurutnya mencerminkan topografi, infrastruktur dan populasi masyarakat DIY yang tinggal dan terdistribusi di daerah kawasan Gunung Merapi dan daerah pesisir selatan Jawa.
Untuk mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami di kawasan Pantai Parangtritis, kata Sudibyakto, pihaknya memanfaatkan berbagai media komunikasi. Lewat bantuan media informasi, pengunjung atau wisatawan bisa mengetahui informasi yang memadai terkait risiko bencana, lokasi dan peta evakuasi saat berada di lokasi. Beberapa media komunikasi yang bisa dimanfaatkan untuk meminimalisir risiko bencana itu adalah berupa brosur, radio, billboard, sirene, dan pengumuman dari masjid melalui pengeras suara. “Hal itu sudah coba kita lakukan di kawasan pantai Parangtritis,” ujarnya.
Prof. Dr. Yoshimitsu, pengajar dari College of Policy Science, Ritsumeikan University, menyoroti persoalan lamanya proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa dan tsunami yang terjadi di negaranya. Di jepang, membutuhkan 3-5 tahun agar upaya rekonstruksi bisa selesai. “Sebagian korban umumnya enggan direlokasi dan mengeluh karena hunian sementara yang disediakan pemerintah minim fasilitas,” terangnya.
Dia mengusulkan dalam masa rehabilitas dan rekonstruksi pascabencana seharusnya korban yang bangunan rumahnya rusak parah diberikan dua pilihan, menempati rumah publik atau membangun sendiri tempat tinggalnya dengan didukung bantuan biaya dari pemerintah.
Dalam kesempatan itu, Yoshimitsu menyebutkan bencana gempa Kobe Jepang tahun 1995 menyebabkan 250 ribu rumah yang rusak dan 6.434 korban meninggal. Selanjutnya gempa Tohoku pada maret 2011 menyebabkan 400 ribu rumah dan bangunan yang rusak dan 21.075 korban yang meninggal. Adapun gempa Bantul Yogyakarta pada 2006 yang lalu telah menyebakan 5.716 korban meninggal dan 490 ribu bangunan yang rusak. (Humas UGM/Gusti Grehenson)