Kegiatan pertanian dan kebakaran hutan gambut berdampak atas perubahan watak gambut ombrogen. Perubahan itu meliputi beberapa sifat fisika dan kimia gambut, dan proses biogeokimia penting dalam ekosistem hutan/lahan gambut. Sifat fisika gambut mengalami perubahan, tetapi tidak berdampak negatif atas kualitas fisika gambut sebagai media tumbuh. Hanya saja perubahan sifat fisika itu cukup berpengaruh terhadap fungsi gambut sebagai pengatur tata air (fungsi hidrologis) karena daya menyimpan lengas maksimum (porositas total) dan daya hantar air cacak menurun. Hal ini berarti bahwalahan gambut yang nisbi tak terusik seperti hutan gambut tebang pilih menunjukkan fungsi hidrologis yang lebih mantap, dan sebaliknya kurang mantap dalam hal fungsinya sebagai media tumbuh. Hal sebaliknya berlaku bagi lahan gambut yang telah terusik oleh kegiatan pertanian dan kebakaran. Demikian disampaikan Ir. Ahmad Kurnain, M.Sc saat menempuh Ujian Terbuka Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Pertanian (Ilmu Tanah) pada hari Selasa, 30 Agustus 2005 di Ruang Pascasarjana UGM.
Dalam disertasi berjudul “Dampak Kegiatan Pertanian Dan Kebakaran Atas Watak Gambut Ombrogen” ia mengungkapkan, dalam hal sifat kimia, perubahannya berdampak negatif atas penurunan kualitas kimia gambut baik sebagai media tumbuh maupun sebagai penyokong kehidupan jasad renik tanah. Hanya saja kerusakannya masih berada di bawah ambang kritis menurut kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah (PP RI No 150 Tahun 2000). Harga Ph gambut yang kurang dari 4,0 tidak dapat dianggap berada di ambang kritis, karena gambut alami yang tak terusik pun kurang dari 4,0. “Penurunan kualitas kimia gambut hanya terjadi di lahan pertanian nonintensif seperti lahan nenas dan karet, lahan terbuka, dan lahan bekas kebakaran, tetapi tidak terjadi di lahan pertanian intensif seperti lahan jagung,” kata dosen Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru ini.
Lebih lanjut promovendus kelahiran Makasar, 7 April 1963 mengatakan, secara praktis hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan dalam penyusunan strategi pemanfaatan yang bijaksana lahan gambut untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan gambut untuk produksi biomassa secara ideai harus juga mempertimbangkan kelestarian dan kemantapan fungsi alamiah lahan gambut. “Oleh karena itu, pilihan pemanfaatan yang bijaksana harus menggabungkan dua kepentingan itu. Secara makro, pendekatan pembangunan sektor tunggal (single sector development) harus bergeser ke pendekatan pembangunan sektor jamak (multiple sector development). Salah satu model yang dapat dikembangkan adalah penggabungan konsep pertanian dan perhutanan (agroforestry). Secara lebih khusus model itu dapat berupa perwilayahan (zoning) pemanfaatan untuk tujuan pertanian dan perhutanan dalam suatu ekosistem lahan tertentu, pertanian berskala kecil untuk meminimalkan dampak atas fungsi ekosistem, dan memisahkan wilayah konservasi dari wilayah produksi dengan wilayah penyangga (buffer zones),” ujarnya.
Promovendus dengan predikat Sangat Memuaskan ini menambahkan, hasil penelitian juga dapat diertimbangkan dalam penyusunan strategi pemulihan lahan gambut yang rusak. Membiarkan saja lahan gambut bekas kebakaran tanpa ada upaya pemulihan buatan ternyata mendorong kemerosotan kualitas kimia gambut. Lahan gambut ombrogen memiliki kemampuan memulihkan secara alamiah yang sangat rendah. “Oleh karena itu diperlukan upaya campur tangan manusia dalam pemulihan lahan gambut yang rusak. Campur tangan itu teramu dalam satu model pemulihan yang meliputi pembenahan fungsi hidrologis dan biogeokimia lahan gambut. Pembenahan fungsi hidrologis terutama diarahkan untuk mengendalikan kehilangan media (gambut) akibat pengatusan yang berlebihan. Pembenahan fungsi biogeokimia terutama diarahkan untuk memperbaiki kualitas gambut sebagai media tumbuh,” ujar suami Erna Noordiyanti ini. (Humas UGM)