Rektor UGM, Profesor. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D didaulat menjadi salah satu pembicara kunci dalam Global Education Dialogue (GED) yang diselenggarakan oleh British Council di New Delhi, India pada tanggal 10-11 Februari 2015. GED yang mengusung tema “Woman and Leadership: the Absent Revolution” tersebut merupakan rangkaian kegiatan dialog di kawasan Asia.
Secara umum dialog ini membahas fakta dan temuan riset yang menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam kepemimpinan, baik itu dalam pendidikan maupun masyarakat, yang masih rendah. Hal ini tidak saja terjadi di Asia tetapi juga secara umum di seluruh dunia. Dalam bidang pendidikan fenomena ini terlihat jelas. Partisipasi perempuan dalam pendidikan tingkat strata satu memang meningkat seiring waktu tetapi persentasenya masih jauh dibandingkan laki-laki. Perbedaan partisipasi dan representasi semakin lebar untuk pendikan strata dua dan strata tiga. Lebih jauh, jumlah perempuan yang aktif menjadi peneliti secara formal jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dialog ini bertujuan untuk membahas dan memberi jalan keluar untuk persoalan tersebut.
Pada forum itu Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita memaparkan gagasannya dalam perspektif sebagai peneliti atau geologis dan sebagai seorang rektor. Sebagai geologis perempuan ia menilai adanya keunikan yang terjadi di dunia pengurangan risiko bencana yang secara umum dianggap sangat laki-laki.
“Yang terpenting bukan soal jumlah tetapi soal peran. Jumlah yang sedikit sering kali bisa ditutupi dengan kontribusi yang signifikan. Peran perempuan yang minor secara jumlah bisa menjadi mayor secara peran,” papar Dwikorita.
Dalam konteks kepemimpinan di pendidikan tinggi, Prof. Karnawati juga menyampaikan hal senada. Bukan soal jumlah tetapi bagaimana kebijakan yang dihasilkan oleh kaum minoritas itu bisa memberi warna dan berpihak secara proporsional kepada kaum perempuan dan kaum yang termarjinalkan.
“Tidak perlu kuota partisipasi perempuan dalam kepemimpinan universitas tetapi perlu memastikan adanya meningkatan kapasitas perempuan sehingga ketika berpartisipasi bisa maksimal dan optimal,” urai Dwikorita.
Ia menegaskan bahwa pembelaan atas kepentingan perempuan itu tidak harus dilakukan oleh kaum perempuan. Dwikorita mencontohkan gagasan adanya ruang laktasi atau menyusui di UGM, misalnya, tidak datang dari kaum perempuan tetapi dari para laki-laki.
Saat ditanya langkah apa yang akan dilakukan dalam kapasitasnya sebagai rektor untuk meningkatkan partisipasi kaum perempuan, Prof. Karnawati, menjawab bahwa dia akan berjuang lewat jalur universitas untuk memastikan pendidikan dan peningkatan kapasitas bagi kaum perempuan. Dwikorita memandang perlu peningkatan kapasitas individu secara intelektual karena dengan itu perempuan bisa menolong dirinya kelak, serta lebih siap dan “smart” dalam membesarkan, mengasuh dan membimbing generasi muda penerus bangsa. (Humas UGM/Satria)