![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/2302151424669918105608667-754x510.jpg)
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Januari 2014 telah memutuskan bahwa penyelenggaraan pilpres/wapres serta pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 mendatang. Pasca putusan tersebut, respon pelbagai pihak tentang pemilu serentak pun berbeda-beda. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Syamsuddin Haris menilai keserentakan pemilu seharusnya terpisah antara nasional dan lokal.
“Nasional itu pilpres/wapres serta DPR dan DPD, sedangkan lokal meliputi pemilu kepala daerah dan DPRD,” papar Haris dalam diskusi Desain Pemilu Serentak 2019 di Fisipol UGM, Senin (23/2).
Haris menambahkan keserentakan pemilu nasional yang terpisah dari pemilu lokal diharapkan tidak hanya mengakibatkan efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga efektifitas pemerintahan. Pemerintahan akan lebih efektif karena keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil akibat coattail effect, yakni keterpilihan capres dari parpol atau koalisi parpol akan memengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari atau koalisi parpol tertentu.
“Pemilu legislatif misalnya digelar 2 tahun pascapilpres sehingga ada jeda waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serentak nasional,” ujarnya.
Selain itu, pemilu serentak nasional yang dipisahkan dari pemilu serentak lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pilihan rakyat karena perhatian pemilih tidak harus terpecah pada pilihan yang terlampau banyak sekaligus di saat yang sangat terbatas dalam bilik suara.
Pengamat politik UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim melihat isu pemilu serentak yang diputuskan oleh MK belum tentu dipahami dengan benar oleh DPR. Pemilu serentak, menurut Gaffar, setidaknya akan menyinggung 3 hal, yaitu governability, representasi, dan integrasi.
“Pemilu serentak dalam sistem presidensiil diharapkan bisa memperkuat integrasi Indonesia melalui figur presiden terpilih. Mungkin yang dulu bisa jadi contoh Bung Karno atau bahkan Gus Dur,” kata Gaffar.
Dampak pemilu serentak menyebabkan parpol atau koalisi parpol harus jauh hari mulai menyiapkan figur capres. Mereka tidak bisa lagi mejadikan hasil pemilu legislatif sebagai dasar terbangunnya koalisi tersebut. Hal itu memungkinkan adanya koalisi berbasis ideologi dan program antar parpol semakin terbuka.
“Koalisi sekarang ini khan tidak jelas. Tapi ke depan partai kecil bisa berpeluang memenangkan calon presidennya,” katanya. (Humas UGM/Satria)