Generasi gadget tidak bisa dibubarkan atau dilarang. Maka peran pustakawan bukan melawan mereka tetapi mengelola dan mengarahkan perilaku mereka agar dapat terampil mendapatkan dan menguasai informasi, ilmu dan pengetahuan yang benar dan bertanggung jawab. Untuk itu setiap pustakawan mau membuka diri menerima kehadiran generasi gadget, dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan perpustakaan dalam “persaingan”.
“Pemikiran bahwa perpustakaan tidak lagi dibutuhkan setelah ada situs jejaring adalah pemikiran yang keliru karena banyak sekali komponen dan karakter perpustakaan yang tidak dimiliki oleh situs jejaring. Situs jejaring tidak menyeleksi materi yang diterimanya dari seorang “uploaders”,”papar staf pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Agus Rusmana dalam “Seminar Nasional Tantangan Perpustakaan Dalam Membangun Kemampuan Baca Generasi Gadget di Era Digital”, di UC UGM, Selasa (3/3).
Agus menambahkan dalam situs jejaring apapun yang dimasukan akan diterimanya dan seketika itu dipublikasikan, sedangkan di perpustakaan, semua materi yang masuk dan disajikan, menjalani proses seleksi yang ketat oleh pustakawan.
Untuk membuat generasi gadget kembali tertarik pada perpustakaan dan pustakawanannya, maka mereka harus ‘berdandan’ sesuai gaya generasi ini. Setelah generasi gadget telah menjadi ‘teman selevel’ dalam bidang gadget, maka mulailah dibentuk perilaku informasi yang benar tanpa harus meninggalkan kesukaan mereka terhadap gadget.
“Disini pustakawan dituntut untuk mengelola layanan koleksinya sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dan cepat digunakan,”katanya.
Sementara itu staf pengajar Jurusal Ilmu Komunikasi UGM, Dr. M. Sulhan, M.Si pada acara tersebut mengangkat tulisan tentang Kompleks Oedipus Pemustaka: Membaca Ulang Relasi Perpustakaan, Pemustaka, dan Media. Sulhan melihat relasi pemustaka, perpustakaan, dan teknologi informasi dan komunikasi bagaikan relasi seorang anak, ayah, dan ibunya.
“Perpustakaan adalah ayah, pemustaka adalah anak dan teknologi informasi komunikasi adalah ibu di mata sang ‘anak’pemustaka,” tutur Sulhan.
Saat kemudian perpustakaan menjadikan teknologi informasi sebagai elemen yang melekat pada fasilitas dan infrastruktur mereka, pemustaka melihat dua hal dalam kompleksitas ‘neurotik’ mereka. Pilihan kenyamanan dan tertampungnya kebutuhan atas teknologi informasi harus dihadapkan pada melekatnya dunia itu dengan institusi perpustakaan.
Di tempat sama Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med. Sc., Ph.D., menilai perpustakaan di era digital saat ini adalah tempat mencari solusi. Perpustakaan memang tidak lagi membutuhkan banyak ruang karena basis data dan informasi yang dimiliki telah didukung melalui buku elektronik.
“Harus berbenah, baik dari sisi tampilan fisik perpustakaannya maupun pengelola perpustakaan sehingga pengguna lebih nyaman di sana,” tegas Iwan. (Humas UGM/Satria)