Indonesia masih kekurangan donor kornea mata. Sementara kebutuhan akan transplantasi kornea cukup tinggi. Hingga kini setidaknya terdapat 25 ribu antrian tunggu penerima donor kornea. “Baru sekitar 5-10 persen penderita kebutaan yang bisa ter-cover untuk menerima transplantasi kornea. Padahal yang membutuhkan ribuan orang,” kata Ahli Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UGM, Prof.Dr Suhardjo, Selasa (3/3) di kampus setempat.
Suhardjo menuturkan faktor budaya dan kesadaran masyarakat terhadap kebutaan yang masih rendah menjadi penyebab utama minimnya pendonor kornea dari dalam negeri. Karenanya untuk memenuhi kebutuhan transplantasi kornea mata, Indonesia sangat bergantung pada donor luar negeri. “Sebenarnya kekurangan donor kornea bisa diatasi dengan donor dari negara lain. Seperti kita banyak minta donor ke Filipina, hanya saja cost service-nya besar yaitu 1.500 USD per kornea,” jelasnya.
Belum adanya kebijakan maupun undang-undang yang mengatur ketentuan donor, kata dia, turut menjadi penyebab minimnya aktivitas donor kornea. Tidak seperti di beberapa negara dunia, seperti Singapura dan Filipina yang memiliki donor melimpah karena ketentuan donor telah diatur dalam undang-undang. “Di Indonesia belum memiliki payung hukum yang mendukung donor organ. Beda dengan Filipina misalnya, ketentuan donor sudah diatur dalam undang-undang sehingga setiap orang meninggal langsung menjadi donor, kecuali mengajukan penolakan,”paparnya.
Suhardjo menyebutkan kebanyakan kasus kebutaan yang terjadi di Indonesia banyak disebabkan karena adanya kekeruhan pada kornea mata akibat infeksi jamur, bakteri, ataupun virus. Pada penderita radang kornea dan ulkus kornea yang terinfeksi jamur, sebagian besar tidak dapat tertangani karena yang belum ada obatnya sehingga perlu pembedahan bahkan cangkok mata. Namun begitu banyak pasien tidak tertolong karena kesulitan mendapatkan donor kornea. “Di RS Mata Yap setiap minggu ada setidaknya 5 pasien keratokonus dan ulkus kornea yang mondok. Namun dalam sebulan kita baru bisa melayani cangkok mata paling banyak 2 pasien,”terangnya.
Lebih lanjut Suhardjo mengatakan transplantasi kornea dengan membedah jaringan kornea rusak digantikan dengan jaringan kornea donor dapat dilakukan pada pasien dengan penipisan kornea pada ulkus kornea, keratokonus, klukoma, distorfi kornea dan lainnya. Umumnya transplantasi dilakukan dengan mengganti seluruh ketebalan kornea (penetrating). Namun kini, telah dikembangkan teknologi transplantasi kornea terbaru yakni lamellar dengan transplantasi pada sebagian ketebalan kornea. Dengan metode ini dapat menekan tingkat risiko rejeksi dan rehabilitasi visual menjadi lebih cepat. “ 70 persen operasi di Indonesia dilakukan dengan metode penetrating. Metode ini masih menyimpan risiko penolakan 10-30 persen. Sementara di sejumlah negara maju sudah banyak yang menerapkan transplantasi lamellar karena bisa menurunkan risiko rejeksi,” jelas Suhardjo.
Hingga kini, metode tranplantasi lamellar baru di terapkan di salah satu rumah sakit Jakarta. Selain teknologi yang mahal, teknik ini juga belum banyak dikuasai oleh dokter mata di Indonesia. Guna meningkatkan pemahaman teknik tranplantasi terbaru tersebut, dalam waktu dekat Fakutas Kedokteran UGM akan mendatangkan pakar di bidang tersebut yakni dr. Retta Gurug dari Kathmandu, Nepal. “Jumat besok (6/3) akan dilakukan operasi tranplantasi kornea dengan teknik lamellar di RS Sardjito dengan donor kornea yang dibawa dari Nepal. Selanjutnya hasilnya akan dipaparkan dalam seminar pada hari Sabtu,” kata Ketua Annual Scientific Meeting Mata 2015 ini. (Humas UGM/Ika)