Kasus resistensi antibiotik terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tingginya kasus resistensi mikrobia terhadap obat antibiotik ini salah satunya dikarenakan pemberian obat tidak dilakukan secara rasional atau tanpa adanya indikasi. “Pemberian antibiotik tidak rasional justru akan memperpanjang perwatan pada pasien, bahkan ada yang berujung pada kematian,” kata Ketua Komite Farmasi Nasional (KFN), Drs. Purwadi, Apt., yang diwakili anggota KFN Susana, Apt., saat memberi sambutan pada pelantikan apoteker Fakultas Farmasi UGM, Selasa (10/3) di University Club UGM.
Timbulnya resistensi obat dalam terapi menjadi kendala dalam upaya pengendalian suatu penyakit. Bahkan persoalan resistensi obat antibiotik telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat di berbagai negara dunia dengan kejadian yang semakin meluas. Misalnya saja pada kasus resistensi antibiotik pada pasien tuberkololosis. Data WHO tahun 2012 mencatat setidaknya terdapat 450 ribu pasien dengan multidrug resistan tubercolosis (MDR Tb) yang baru teridentiikasi di 92 negara,” katanya.
Purwadi mengatakan sebagai salah bagian dari tenaga kesehatan, apoteker turut memegang peranan dalam upaya mengurangi angka kejadian resistensi antibiotik di masyarakat. Salah satunya memberikan layanan penggunaan obat rasional seperti meresepkan antibiotik hanya saat diperlukan atau anjuran dokter. “Resepkan antibiotik saat benar-benar dibutuhkan dan tepat sesuai dengan bakteri penyakit,” jelasnya.
Terkait penggunaan antibiotik ini, ia juga menghimbau masyarakat untuk tidak sembarangan dalam menggunakan antibiotik. Penggunaan antibotik seyogianya sesuai dengan yang telah diresepkan dokter dan patuh dalam melakukan terapi agar tidak terjadi resistensi antibiotik. “Gunakan antibiotik sesuai resep dokter, tidak berbagai antibiotik dengan orang lain, dan patuhi terapi dengan mengkonsumsi sesuai dengan dosis dan aturannya,” tandasnya.
Karenanya ia berpesan kepada para apoteker baru untuk selalu berpegang teguh memberikan obat secara rasional dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan begitu diharapkan akan mendukung keberhasilan terapi dan mengurangi kasus resistensi antibiotik. Di samping hal itu, apoteker juga diharapkan bisa terus belajar meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta peka terhadap berbagai informasi tentang obat dan terapi.
Kepala Dinas Kesehatan DIY yang diwakili Kabid Regulasi dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Dinkes DIY Dra. Hardiah Juliani, M.Kes., Apt., mengingatkan kepada seluruh apoteker baru agar dalam bekerja nantinya bertindak secara profesional dan mengikuti berbagai peraturan perundangan yang berlaku. Apoteker juga diharapkan untuk berperan dalam mendukung program pemerintah menuju paradigma sehat salah satunya dengan tidak meresepkan obat diluar terapi. “Pelayanan obat secara rasional harus dilakukan oleh apoteker,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI) DIY, Wimbuh Dumadi, S.Si., Apt., menegaskan apoteker harus mampu meningkatkan peranannya dan mendekatkan diri dengan pasien serta masyarakat. Dalam melakukan pelayanan kefarmasian, apoteker tidak hanya dituntut menguasai bidang kefarmasian saja namun juga dapat menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan pasien dan tenaga medis lainnya.
Pelantikan apoteker kali ini diikuti 50 orang apoteker terdiri dari 22 pria dan 35 wanita. Dengan demikian hingga saat ini Fakultas Farmasi UGM berhasil meluluskan apoteker sebanyak 6.433 orang. Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, Apt., mengatakan dari 50 lulusan tersebut 46 diantaranya meraih predikat cum laude. “Kami harap para apoteker baru bisa terus belajar, meningkatkan kompetensi dan bekerja secara profesional nantinya,” katanya. (Humas UGM/Ika)