Perjalanan kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta tidak hidup dalam kevakuman, melainkan selalu berdialog dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Sejumlah aspek sosial-budaya masyarakat Jawa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan Paku Buwana X tetap mewarnai kehidupan masyarakat pada masa pascakemerdekaan. Unsur-unsur karawitan Jawa gaya Surakarta yang hidup pada masa itu tetap menjadi acuan penting bagi kehidupan karawitan Jawa Surakarta pada masa-masa berikutnya.
Waridi, S. Kar., M.Hum mengungkapkan hal ini saat ujian terbuka program doktor hari Selasa tanggal 20 September 2005, di Sekolah Pascasarjana UGM. Judul desertasi yang dipertahankan dihadapan tim penguji adalah “Tiga Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta Masa Pascakemerdekaan Periode 1950 – 1970-an”.
Menurut Waridi, pada masa pemerintahan Paku Buwana X ruang aktivitas karawitan istana dibuka semakin lebar dan estetika karawitan istana mulai mengalir ke luar istana lewat sejumlah saluran. Begitu pula estetika Karawitan Jawa yang berkembang di luar istana mulai bersentuhan secara intens dengan estetika karawitan istana. “Ribuan repertoar gending klasik telah diwariskan dari masa-masa sebelumnya. Warisan itu pada masa pemerintahan Paku Buwana X diolah dan dikembangkan lewat sejumlah aktivitas karawitan di pusat-pusat kegiatan karawitan Jawa Gaya Surakarta. Hasilnya muncul sejumlah pengembangan garap gending, ciptaan gending, dan pengembangan pola permainan instrumen”, ujar pria kelahiran Boyolali 6 Nopember 1956. Dosen ASKI Surakarta mengungkapkan, pada masa pascakemerdekaan karawitan gaya Surakarta tidak hanya dipahami sebagai karawitan istana saja, akan tetapi dimaknai secara lebih luas. Karawitan Jawa gaya Surakarta pada masa pascakemerdekaan mengalami pergeseran orientasi yang cukup signifikan dalam berbagai aspeknya. Pergeseran itu mencakup aspek musikalitas (garap dan estetika karawitan), fungsi, kebebasan kreativitas, sistem transformasi kemampuan (pendidikan karawitan), sistimatisasi notasi, lapangan kerja seniman karawitan, serta paradigmanya. “Hal ini menunjukkan, bahwa karawitan Jawa gaya Surakarta bukan bersifat statis, melainkan terbuka serta akomodatif terhadap dinamika perubahan sosial budaya masyarakat pendukungnya”, tambah Waridi, yang memperdalam karawitan sejak tahun 1978. (Humas UGM)