Disampaikan Transtoto Handadhari, bahwa masalah pungutan rente ekonomi hasil hutan kayu bulat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan lestari untuk masa mendatang. Meskipun paradigma kehutanan telah berubah dari timber management ke forest resource based management, dan bahkan terus mengarah ke social forestry based management, namun komoditi yang masih tetap diusahakan secara dominan dan merupakan bagian terpenting dari pengusahaan hutan saat ini dan untuk masa ke depan masih panjang adalah produk hasil hutan kayu bulat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan pasar dan industri pengolahan hasil hutan yang masih didominasi oleh hasil kayu bulat olahan. Transtoto menyampaikan pernyataan ini saat ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM hari Rabu (21/9), dengan mempertahankan desertasi berjudul “Evaluasi Perolehan rente Ekonomi Pengusahaan Hasil Hutan Kayu Bulat di Indonesia”.
Kata Dirut Perum Perhutani ini, sistim pungutan hasil hutan kayu bulat yang tepat diharapkan bukan hanya bertujuan mendapatkan perolehan negara atas pengusahaan hutan, tetapi sekaligus digunakan sebagai alat kendali kebijakan pelestarian pengelolaan hutan oleh pemerintah. Apalagi saat ini, degradasi dan deforestasi hutan terus meningkat mencapai angka 2,83 juta hektar pertahun (1997-2000), dan produksi kayu bulat dari sumber hutan tanaman belum menunjukkan hasil yang mencukupi kebutuhan bahan baku kayu. “Karenanya perlu ditetapkan suatu kebijakan sistem pungutan yang disamping mampu memberikan perolehan rente ekonomi yang optimal, juga mampu dijadikan alat kendali pelaksanaan pengelolaan hutan yang efisien untuk kelestarian sumberdaya hutan”, ujar mantan Kepala Pusat Informasi kehutanan Dephut. Hasil penelitian Transtoto menunjuk, terdapat potensi rente ekonomi yang relatif besar yang hilang pada hampir seluruh sistim pengusahaan kayu bulat, termasuk pada sistim HPHTI yang diteliti pada tahun 2002, antara lain sampai sebesar Rp 162,12 ribu (48,50%) per meter kubik pada HPH daerah hutan rawa tahun 2001, sebesar sampai dengan Rp 289,98 ribu (62,18%) per meter kubik pada pengusahaan kayu bulat IPK 2001: sampai dengan Rp 214.936 (60,56%) per meter kubik pada pengusahaan sistim IPHHK tahun 2001. “Dari pengusahaan kayu bulat melalui cara lelang kayu eks illegal logging tahun 2001 pemerintah telah kehilangan potensi perolehan pungutan sampai sebesar Rp 197.359 (54,94%) per meter kubik. Selanjutnya dari pengusahaan hutan tanaman HPHTI tahun 2002 jenis tanaman Acasia Mangium terdapat potensi menaikkan jumlah pungutan sampai sebesar Rp 27.069,39 per meter kubik atau dengan kata lain pemerintah telah kehilangan potensi pungutan rente kayu sampai sebesar 82,83% yang hilang akibat rendahnya penetapan tarif PSDH yang rata-rata hanya ditetapkan sebesar Rp 5.611,22 per meter kubik”, tandas lulusan University of Winconsin- Madison, USA Bidang Forestry Economics and Management tahun 1992.
Promovendus adalah putra kelahiran Yogyakarta 6 Maret 1951, merupakan alumnus Jurusan Ekonomi Perusahaan, Fakultas Kehutanan UGM tahun 1977. Dalam ujian doktor kali ini mendapat predikat Sangat Memuaskan (Humas UGM).