Pengamat Politik UGM, Bayu Dardias Kurniadi, M.A menilai DPRD DIY tidak sensitif terhadap lima Perdais yang semestinya dikeluarkan oleh Jogja, namun energi lebih dihabiskan hanya untuk mengurus suksesi siapa calon raja berikutnya atau siapa Gubernur DIY. Padahal, katanya, tanpa Perdais pun Sultan sudah otomatis jadi gubernur.
“Sudah jelas di Undang-undang Keistimewaan. Energi kita habis disitu, padahal ada persoalan sangat penting terkait kelembagaan”, ujarnya di Kampus Fisipol UGM, Senin (24/3) saat berlangsung diskusi “Politik Keistimewaan di Yogyakarta, Harta, Tahta dan Perebutan Kuasa”.
Bagi Bayu Dardias, masalah kelembagaan di tingkat kabupaten/kota adalah masalah yang serius. Sebab kelembagaan di tingkat kabupaten/kota adalah penerima utama dana keistimewaan.
Mereka dinilai tidak memiliki lembaga kuat yang bisa menjalankan dana yang sedemikian besar. Selama ini, diibaratkan muntah-muntah ketika harus mengelola uang sebesar 25 milyar rupiah, jika sebelumnya hanya sekitar 1 hingga 2 milyar rupiah.
“Saya kira ini salah satu isu yang sangat menarik yang harus diselesaikan, tetapi sayangnya saya agak kecewa karena DPRD DIY lebih sibuk ngurusi suksesi. Padahal hal ini jauh lebih penting, karena terkait penyerapan anggaran, tahun 2013 hanya turun satu tahap, tahun 2013 hanya turun dua tahap, sementara tahun 2015 akan turun dalam dua minggu kedepan,” tutur dosen Jurusan Politik dan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM.
Urusan suksesi, kata Bayu, adalah urusan raja dan sudah dikunci di Undang-undang Keistimewaan. Karena itu lebih bijak jika DPRD DIY fokus pada Raperdais yang bersangkutan hajat hidup orang banyak.
“Saya nilai DPRD tidak sensitif terhadap isu masyarakat Jogja. Isu suksesi bisa dipetakan dalam pohon keturunan. Dalam tradisi aristokrasi di Indonesia, syarat untuk menjadi raja adalah anak raja. Sementara pembagian antara saudara kandung dan saudara tiri, saudara kandung jauh lebih diutamakan,” imbuhnya.
Lagi-lagi Bayu menilai sebagai orang luar, kita tidak bisa memahami betapa “galaunya” ngarso dalem saat ini. Sebagai raja, Sultan HB X memiliki amanat yang tidak hanya dari para leluhurnya, namun dari Tuhan Yang Maha Esa.
Karenanya tidak boleh salah dalam memilih, sebab begitu salah maka seluruh jejak-jejaknya dan jejak para leluhurnya akan mudah dilupakan oleh masyarakat. Karena itu, konteks suksesi harus dipahami sebagai upaya raja untuk mencari penerusnya.
“Jadi tidak hanya bisa dalam konteks hitung-hitungan matematis, tetapi harus dipahami itu sebagai tugas yang luar biasa berat. Tidak hanya untuk dirinya, namun juga untuk para leluhur-leluhurnya,” katanya. (Humas UGM/ Agung)