![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/03/24031514271797231557322748-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Mencegah warga negara Indonesia berangkat ke Suriah dan bergabung dengan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menurut Peneliti Terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, tidak cukup dengan menghapuskan situs media ISIS yang beredar di internet. Menurutnya, pemerintah perlu secara serius memberikan informasi yang benar untuk meluruskan paham sesat yang disebarkan oleh ISIS. “Pemerintah perlu memberikan jawaban atas informasi dari situs-situs (ISIS) ini,” kata Sidney dalam laporan tahunan Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM mengenai politik lokal dan konflik keagamaan yang berlangsung di ruang sidang Sekolah Pascasarjana, Selasa (24/3).
Dikatakan Sidney, informasi yang muncul di jejaring media sosial yang berkaitan dengan ISIS ini sangat masif sehingga dibutuhkan langkah antisipatif dari pemerintah. Diakui Sidney, warga yang tertarik masuk ISIS umumnya disebabkan faktor finansial karena ISIS menjanjikan uang yang jauh lebih besar apabila bergabung. “Bagaimana seorang janda dengan tujuh anak, kawin lagi di sana, ISIS sendiri akan menanggung biayanya,” katanya.
Meski ada faktor finansial, kata Sidney, mereka yang bergabung dengan ISIS termotivasi bahwa di Suriah akan terbentuk bentuk negara yang akan menerapkan syariat islam secara penuh. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang meyakini dan percaya akan muncul ‘imam mahdi’ di negara islam Irak dan Suriah. “Meski banyak orang menolak tentang itu, tapi kenapa pemerintah membiarkan mereka keluar ke Suriah,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Sidney juga mengapresiasi tentang laporan kekerasan yang muncul di Indonesia yang mengatasnamakan kelompok agama. Bahkan kekerasan yang dilakukan secara beramai-ramai seperti membunuh pelaku begal menurut Sidney menunjukkan lemahnya proses penegakan hukum di Indonesia.“Kekerasan ini tidak akan selesai jika hukum tidak ditegakkan dengan baik oleh aparat hukum. Sayangnya, kekerasan itu muncul di dekat daerah pos-pos polisi,” ujarnya.
Soal tingkat penyelesain kasus kekerasan agama di tiap daerah berbeda satu sama lain, Sidney mengatakan hal itu bergantung dari kepemimpinan dari masing kepala daerah dan kapolda/kapolres setempat. “Seharusnya bisa diselesaikan sebelum kekerasan menjalar lebih luas,” katanya
Peneliti CRCS UGM M. Iqbal Ahnaf, mengatakan terjadinya konflik keagamaan disebabkan adanya intoleransi keagamaan dan intoleransi teologis serta gagalnya negara dalam melindungi kelompok minoritas. Meski demikian, kekerasan itu kerap muncul akibat adanya kepentingan politik dari salah satu calon kepala daerah menjelang pilkada.
Dia menyebutkan konflik pengusiran warga syiah di sampang terjadi menjelang masa pilbup sampang 2012. Sementara di kupang, sengketa pembangunan sebuah tempat ibadah di kampung batuplat, kupang, tidak bisa diselesaikan dan berubah menjadi ketegangan. Menurutnya hal itu tidak bisa dilepasksn dari kekuatan politik menjelang pilkada kota kupang tahun 2012. Bahkan di Bekasi disebutkan, sebagai salah satu wilayah dengan intensitas intoleransi yang cukup tinggi terutama yang menyasar gereja dan kelompok Ahmadiyah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)