Sedikit lulusan Fakultas Kedokteran yang mau mengabdikan dirinya di daerah terpencil. Biaya pendidikan yang mahal disinyalir menjadi faktor penyebab. Karenanya setelah lulus, mereka sesegera mungkin ingin mengembalikan biaya yang dikeluarkan dan enggan bekerja di daerah-daerah terpencil.
Bagi Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes, permasalahan ini menjadi isu yang sangat menarik. Bila dibandingkan dengan kondisi kini, katanya, sangatlah berbeda ketika dirinya kuliah dan lulus pada tahun 1987.
“Waktu kita dulu minimal saat bimbingan dokter pun masih mendapat subsidi. Memang tidak gratis, namun sangat murah. Jadi ketika tahun 1987 lulus ikut wajib kerja sarjana,” katanya di KPTU Fakultas Kedokteran UGM, Selasa (24/3).
Fakta saat ini, menurut Dwi Handono, menurunkan minat lulusan-lulusan Fakultas Kedokteran menjadi tenaga medis di daerah-daerah pelosok. Keharusan membayar yang tinggi, menjadikan lulusan dokter melakukan hitung-hitungan ekonomi.
“Beda dengan sekarang yang harus bayar mahal, jadi antara biaya yang sudah dikeluarkan, nanti dapat apa. Cuma masalahnya memang sebaiknya seorang dokter ada pengalaman lapangan dan memiliki idealisme,” paparnya.
Oleh karena itu, dalam diskusi “Potensi dan Peran Institusi Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kesehatan untuk Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)” yang diselenggarakan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK UGM, Dwi Handono berharap perlu perbaikan kurikulum dengan memasukan kurikulum berbasis lokal. Kurikulum tersebut ditambah dengan wawasan nusantara.
“Hal ini tentu menarik sekali, Indonesia luas tidak hanya Jogja, Jakarta dan lain-lain, tapi seluruh Indonesia, terutama daerah-daerah terpencil. Sekarang sudah kurang terekspos lagi untuk menanamkan semangat seperti itu,” tambahnya.
Memang tidak selamanya, keengganan lulusan FK mengabdi ke daerah terpencil hanya ingin mengembalikan modal pendidikan yang telah dikeluarkan. Mereka terkadang menimbang pula masalah keamanan, fasilitas, pendidikan dan keberlangsungan hidup. Hal ini terkadang yang sering diabaikan oleh beberapa pihak terkait, meskipun para lulusan FK diiming-imingi pemberian reward tinggi dan pengangkatan CPNS tanpa tes.
Putu Eka Handayani, peneliti PKMK untuk Renumerasi Dokter dan Dokter Spesialis di NTT menilai mereka yang mau bekerja di daerah justru sesungguhnya mendapat peluang untuk sekolah lanjut (spesialis). Jika tetap mantap menetap di kota besar, persaingan tersebut sangatlah tinggi dan sedikit peluang untuk melanjutkan spesialis dengan beasiswa.
“Sekarang saya dengar FK UGM juga mengutamakan mahasiswa yang mau kembali ke daerah. Dari yang saya temui, masih ada dokter-dokter yang sebenarnya ingin hidup di kota kecil. Mereka beranggapan tidak banyak persaingan, tidak menemui tingginya tuntutan status sosial seperti di kota besar, dan ada dokter yang punya pandangan seperti itu,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)