![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/14041514289983931000533716-741x510.jpg)
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah dilaksanakan sejak Januari 2014 silam dan melibatkan anggaran negara yang sangat besar yang akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut sangat berpotensi memunculkan berbagai tindak kecurangan untuk mendapatkan manfaat program layanan kesehatan atau fraud.“Anggaran kesehatan terus meningkat, tahun 2015 ini alokasi belanja kesehatan di Pemerintah Pusat sebesar Rp. 21 triliyun dan per 1 Januari 2014, BPJS mengelola dana besar antara 30-42 triliun. Untuk itu KPK terus memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program JKN karena rawan terjadi fraud, korupsi karena melibatkan anggaran yang sangat besar,” terang staf KPK RI, Paulin Arifin, Selasa (14/4) dalam seminar Pencegahan Korupsi di Grha Sabha Pramana UGM.
Paulin menuturkan bahwa di luar negeri potensi fraud di bidang kesehatan sangat besar. Seperti di Amerika, sekitar 2-10 persen fraud terjadi dalam klaim layanan kesehatan. Sehingga sektor kesehatan menjadi salah satu fokus area KPK RI selama 2011-2015 dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena selain menyangkut hajat hidup orang banyak, jumlah anggaran kesehatan yang terus meningkat sehingga rawan terjadi korupsi.
Lebih lanjut Paulin menyampaikan bahwa kebanyakan modus korupsi di sektor kesehatan yang sering diadukan masyarakat sejak 2005-2012 berupa penyelewengan APBN/APBD sektor kesehatan, jamksemas, jampersal, dan jamkesda. Kemudian intervensi politik dalam anggaran kesehatan jaminan kesehatan dan askeskin, serta pungli oleh pegawai dinas kesehatan dan pemotongan dana bantuan. Selain itu korupsi juga muncul dari kegiatan pengadaan barang dan jasa khususnya alat kesehatan. Sementara di tingkat rumah sakit daerah korupsi timbul melalui penyalahgunaan keuangan RSUD, klaim palsu, dan penggelapan dana asuransi kesehatan oleh oknum puskesmas dan RSUD, serta penyalahgunaan fasilitas kesehatan.
Sementara kajian KPK dari hasil pemantauan implementasi perbaikan JKN menunjukkan bahwa dari 13 rencana aksi Kemenkes yang dijanjikan terimplementasi pada 2014, sebanyak 8 rencana aksi (61,54%) telah dilaksanakan, sedangkan 5 lainnya (38,46) belum teralisasikan. Kendati begitu, Paulin menyebutkan terdapat sejumlah hal yang patut diapresiasi atas capaian implementasi Kemenkes di tahun 2014. Antara lain, adanya penyesuaian tarif INA-CBGs (sistem klarifikasi pasien) yang ditetapkan dalam Permenkes No.59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Dengan tarif baru tersebut diharapkan lebih sesuai dengan kondisi riil di lapangan sehingga mampu meminimalisir potensi fraud di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Disamping itu, sejumlah peraturan telah diterbitkan Kemenkes guna mencegah tindakan fraud seperti dengan menerbitkan PMK No.14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemenkes dan terus mensosialisasikannya. Kemudian sebagai tindak lanjut, Kemenkes jug amengeluarkan Kepmenkes No.HK.02.02/MENKES/306/2014 tentang juknis Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kemenkes.
Paulin menambahkan, dari hasil kajian KPK tahun 2013 diketahui potensi korupsi di era JKN terjadi melalui enam hal yakni suap dalam pemberian layanan kesehatan, korupsi pengadaan alat kesehatan, pemasaran yang tidak sehat, dan penyalahgunaan wewenang terutama pada level top pimpinan. Selain itu klaim reimbursement dan melalui penipuan dan pengelapan obat-obatan.
dr. Hanevi Djasri, MARS (K)., peneliti pada Pusat kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM menuturkan munculnya fraud di sektor layanan kesehatan salah satunya dikarenakan rendahnya gaji dari tenaga medis. Sehingga sejumlah kecurangan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. “Misalnya saja dengan memberikan pelaporan diagnosis dan prosedur yang berbeda supaya mendapatkan keuntungan lebih,” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, sejumlah faktor lain seperti tidak adanya pemberian insentif yang memadai oleh penyedia layanan, ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan dan inefisiensi dalam pengelolaan rumah sakit, serta kekurangan pasokan peralatan medis turut menjadi pendorong munculnya tindakan fraud. Ditambah lagi dengan kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan.
Djasri menyampaikan dari hasil FGD dengan 7 rumah sakit besar di Indonesia diketahui sebagian besar fraud terjadi melalui tindakan klaim serta klaim dan mutu. Dari tindakan klaim kebanyakan fraud terjadi lewat upcoding yakni memasukkan klaim penagihan dengan dasar kode yang tidak akurat yaitu diagnosa atau yang lebih kompleks atau lebih banyak menggunakan sumber daya. Dengan tindakan tersebut akan menghasilkan nilai pembayaran lebih tinggi dari seharusnya. Berikutnya, kesalahan dalam mengetik kode diagnosa atau prosedur yang mengakibatkan klaim menjadi lebih besar atau lebih kecil dan penagihan terhadap obat, prosedur atau layanan yang sebelumnya sudah direncanakan namun kemudian dibatalkan.
Sedangkan terkait klaim dan mutu, lanjutnya, biasanya fraud terjadi melalui penagihan layanan yang tidak meningkatkan derajat kesembuhan pasien yang tidak siertai bukti efikasi secara ilmiah. Hal lain dengan melakukan penagihan layanan yang tidak sesuai standar kualitas dan keselamatan pasien yang berlaku. “Yang sering terjadi juga, tidak sedikit rumah sakit memulangkan pasien yang seharusnya belum boleh dipulangkan agar menghemat biaya operasional rumah sakit,” ujarnya.
Sementara itu, Sosiolog UGM, Arie Sujito, S.Sos., M.Si., dalam kesempatan itu mengajak generasi muda untuk bersama-sama dengan perguruan tinggi, LSM, dan organisasi masyarakat untuk mengawal desa dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan agar menjadi desa bersih dari korupsi dan mandiri. “Penting bagi generasi muda dan publik untuk membantu desa karena banyak tantangan yang dihadapi desa sejak implementasi UU Desa pada 2014 lalu,” terangnya.
Arie Sujito mengatakan bahwa hadirnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan harapan bagi desa untuk bangkit menjadi kekuatan pilar bangsa dalam pembangunan. Namun disisi lain, kemampuan desa masih terbatas dalam mengelola kewenangan dan keuangan desa. Apabila hal tersebut terus dibiarkan dan tidak ada penguatan kapasitas aparatur desa sangat rawan terjadi korupsi. “UU desa ini merupakan momentum kebangkitan bangsa yaitu membangun dari pinggiran. Karenanya ayo para pemuda turun ke desa, kawal agar desa tidak gagal,” tandasnya. (Humas UGM/Ika)