Essensi tujuan reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 adalah terselenggaranya kehidupan keindonesiaan yang demokratis, yaitu kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan penuh keterbukaan, kelonggaran, kemajemukan, dan dengan peran serta masyarakat luas secara proporsional dalam kerangka tradisi dan nilai keindonesiaan. Dalam kerangka tujuan reformasi itu pula pembinaan bidang pertahanan Indonesia harus diwujudkan, dengan penuh keterbukaan. Demikian beberapa catatan akhir Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik hari Rabu (28/9) di ruang Balai Senat UGM.
Menurut Pak Yahya, kompleksitas perjalanan sejarah Indonesia sesudah proklamasi, terutama pada tahun 1950-an di bidang keamanan nasional, rupanya telah menyebabkan kalangan otorita bidang pertahanan merasa “kurang bergairah” mendorong partisipasi kalangan sipil pada bidang pertahanan. Sebaliknya pula, pengalaman masa lalu, khususnya sejak empat puluh tahun yang lewat, telah menyebabkan kalangan sipil hampir kehilangan kepercayaan kepada militer. 2
Meski begitu, kata Pak Yahya pada masa akhir-akhir ini sudah dilakukan “remedial programs” oleh Pemerintah dan Pimpinan TNI dan juga para elit sipil, namun upaya tersebut kelihatan belum memadai. “Atau menurut Durkheim, belum ‘sufficient’. Jumlah dan kualitas ‘komunitas epistemik’ bidang pertahanan masih belum significant, dan demikian pula belum ada kegiatan riset yang substansial dalam pengembangan ‘software’ maupun ‘hardware’ pertahanan di perguruan tinggi. Yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas wakil-wakil rakyat di DPR RI. Mereka harus menguasai pengetahuan dan memiliki otoritas bidang pertahanan, bukan pengetahuan instan maupun yang bersifat reaktif”, ujar Dosen Fisipol UGM.
Dalam pidato berjudul “Pembinaan Bidang Pertahanan Indonesia” Pak Yahya lebih lanjut mengungkapkan, pada tataran global pembinaan pertahanan Indonesia harus terus difokuskan pada geopolitik dan geostrategi dengan memanfaatkan posisinya yang unik di arena internasional, khususnya di arena regional. “Dalam konteks ini, upaya Indonesia sebetulnya lebih banyak bergantung pada kegiatan diplomasi yang efektifitasnya banyak ditentukan oleh postur militer dan pertahanan Indonesia. Disamping bergantung pada “defense policy”- yang dijalankan Pemerintah Indonesia- yang sangat penting dalam pembangunan kemampuan dan kekuatan semua komponen pertahanan negara, terutama TNI, dan dalam meningkatkan kinerja berbagai lembaga pertahanan”, tambah pria kelahiran Bumiayu, 17 Mei 1943.
Pak Yahya menilai, jumlah personil TNI harus dipikirkan sungguh-sungguh agar mencapai “kebutuhan minimal”, sehingga nantinya dapat diprogramkan bukan hanya untuk mencapai “Kebutuhan yang Rasional” , namun bisa mendekati “Kebutuhan Ideal”. Demikian pula halnya dengan jumlah anggaran pertahanan, yang kini “baru” mencapai 0,76 & GNP, perlu diupayakan untuk ditingkatkan jumlah dan penggunaannya secara lebih terencana, baik oleh Pemerintah maupun DPR, serta penggunaannya lebih efisien, lebih tepat mencapai sasaran. Dengan demikian, maka kemampuan perlengkapan pertahanan Indonesia akan mencapai kebutuhan yang memadai, sebanding dengan kemampuan pertahanan negara-negara tetangga, dan cukup tangguh dan efektif untuk menghadapi ancaman terorisme, mampu menangkal dan mencegah serta mengatasi ancaman ‘katagori A’ hingga ‘Katagori D’. “Pembinaan kekuatan tempur TNI-AU dan TNI-AL pada saat ini harus diprioritaskan sebagai ‘spearhead’ kekuatan penangkal dan pencegah terhadap kekuatan asing. Kita tentu masih ingat aksioma ‘civic pacem para bellum’ dalam konteks penyelenggaraan sistim politik yang demokratis”, tandas Menteri Pendidikan Nasional 1999-2001.