![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/1504151429087125339697147-767x510.jpg)
Laporan Asean Community Progress Monitoring System menyebutkan ongkos ekspor Indonesia termahal ketiga di Asean, dan ongkos impor termurah ketiga di Asean. Akibatnya banyak pelaku ekonomi memilih impor ketimbang ekspor. Kondisi ini tentu menguntungkan importir ketimbang pelaku usaha lokal. Karena para pelaku usaha lokal tidak memiliki insentif ekspor, ekspor mahal, bea cukai ribet dan lain-lain.
“Dengan impor gampang, banyak barang-barang asing membanjiri Indonesia. Sebab dengan memiliki uang bisa mengimpor barang-barang luar untuk disebarkan ke seluruh retail disini. Inilah problem dari masyarakat ekonomi Asean,” ujar Muhammad Prayoga Permana, S.IP., MPP, Plt Direktur ASEAN Studies Center UGM pada Seminar Strategi Penguatan UKM dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN: Tantangan untuk Dunia Pariwisata di Yogyakarta, di Pusat Studi Pariwisata UGM, Selasa (14/4).
Ditengah liberalisasi perdagangan, Prayoga Permana menilai Indonesia terlambat membangun UKM. Ditengan kebijakan membuka lebar perdagangan yang terintegrasi dengan ekonomi global, pemerintah lupa untuk menyelamatkan UKM.
“Jadi kita membuka terus pasar kita, dengan berlari sangat kencang, tapi kita lupa membangun SNI kita supaya bisa memanfaatkan liberalisasi ini,” tuturnya.
Prayoga menduga pemerintah terlalu mudah meloloskan negosiasi perdagangan. Padahal hal itu dinilai sangat membahayakan jika produk didomestik tidak diselamatkan.
Bahkan banyak kajian-kajian Asean selama ini, kata Prayoga, lebih mencecar kesiapan masyarakat dibanding kesiapan pemerintah sendiri sebagai katalisator dalam menghadapi MEA. Baginya, bagaimana mungkin masyarakat pelaku UKM paham MEA, jika pemerintah sendiri sebenarnya juga tidak paham.
“Itu yang perlu kita tekankan, karenanya fokus kita tahun ini mengembangkan kapasitas aparatur pemerintah dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asean. Karena mereka sesungguhnya katalisator dalam hal ini, termasuk para akademisi,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)