YOGYAKARTA – Sepuluh tahun terakhir pemerintah dianggap tidak serius dalam mengawal dan melaksanakan program pengembangan energi baru dan terbarukan. Mengingat keterbatasan sumber energi fosil yang semakin menipis, PT Pertamina sebagai perusahaan migas nasional diminta untuk mulai fokus mengembangkan energi berbasis teknologi dengan memanfaatkan potensi sumber daya energi baru dan terbarukan.
Hal itu mengemuka dalam talkshow “Kemandirian Energi untuk Negeri” yang berlangsung di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, Kamis (16/4). Hadir sebagai pembicara kunci adalah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dan Dirut Pertamina Dwi Soecipto.
Dwi Soecipto mengatakan Pertamina akan berkomitmen untuk memanfaatkan teknologi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Dia menilai jatuhnya harga minyak dunia saat ini juga disebabkan adanya keberhasilan Amerika dalam pengembangan produksi energi baru dan terbarukan yang dinamakan shale gas dan shale oil. “Sebenarnya ini tidak baru juga, karena sudah berpuluh-puluh tahun dikembangkan di sana. Saya kira penting mendorong ini,” katanya.
Dwi mengungkapkan di Pertamina saat ini baru saja dibentuk Direktur yang menangani bidang energi baru dan terbarukan. Meski begitu, sementara ini kegiatan mereka masih mengurusi lingkup bisnis gas. Dia yakin dalam waktu dekat akan fokus pada pengembangan energi baru dan terbarukan apalagi pemerintah sudah meminta agar Pertamina memanfaatkan biomassa untuk dicampur dalam BBM. “Pemerintah telah menetapkan menggunakan 15% biomassa untuk dicampurkan dalam BBM,” katanya.
Dalam kesempatan itu Dwi Soecipto mengatakan pertamina akan meningkatkan kapasitas kilang. Soalnya angka produksi minyak yang dikelola Pertamina mencapai 800 ribu barrel per hari dengan kebutuhan konsumen mencapai 1,3 juta barrel per hari. Untuk mencukupi produksi 1,3 juta barrel tersebut, kata Dwi, Pertamina seharusnya memiliki kapasitas produksi sebesar 1,6 juta barrel per hari.
Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengkritisi langkah pemerintah dan Pertamina selama 10 tahun terakhir yang tidak serius mengawal dan melaksankan pengembangan energi baru dan terbarukan. Dia menyebutakan kebijakan menyediakan 5 juta kiloliter bahan bakar nabati menggantikan BBM pada tahun 2010 yang awalnya disambut antusias oleh masyrakat dan swasta namun akhirnya mandeg di tengah jalan. Sultan mencontohkan, kebijakan penanaman jutaan pohon jarak sebagai bahan baku biodiesel. “Awalnya masyarakat sangat senang karena lahan marginal bisa ditanami pohon jarak. Tapi mereka terpaksa harus kecewa karena produknya tidak bisa terjual, dengan alasan biaya produksi jarak kurang ekonomis dibanding harga solar subsidi saat itu,” ujarnya.
Begitu juga dengan ketidakberanian pemerintah untuk melarang ekspor molasses (tetes tebu) padahal molasses digunakan sebagai bahan baku bioetanol paling ekonomis. Akhirnya, produsen gula memilih ekspor molasses karena sebagai hasil sampingan yang menguntungkan. “Padahal 600 ribu ton molasses per tahun yang diekspor diubah 150 ribu kiloliter bioetanol cukup banyak BBM yang bisa disubsitusi,” terangnya
Sri Sultan HB X mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan, Indonesia bisa meniru langkah yang dilakukan oleh negara Brasil. Menurut Sultan, Brasil berhasil mengembangkan bioetanol sebagai bahan bakar dengan efisiensi biaya produksi 17,5 dollar per barrel dengan total produksi 16 miliar liter per tahun. “Biofuel massal ini tentu dengan dukungan regulasi, finansial serta pengembangan riset dan teknologi agrobisnis,” katanya.
Sementara Dwikorita Karnawati mengatakan peneliti dari Universitas Gadjah Mada telah berhasil mengembangkan berbagai produk riset di bidang energi baru dan terbarukan. Beberapa produk riset yang dihasilkan tersebut diantaranya pengembangnan biomassa dari limbah sawit menjadi BBM. Pengolahan limbah dari pasar buah gamping menjadi produk biogas. Selain itu peneliti UGM juga berhasil mengembangkan teknologi penyimpanan gas dengan metode absorpsi gas storage sehingga bisa mendukung konversi bbm ke bbg pada kendaraan.
Selain itu, kata Rektor, baru-baru ini pihaknya tengah memanfaatkan potensi mikroalga di daerah pantai Gunungkidul sebagai bahan baku biofuel. “Kita bekerjasama dengan DIY bersama dengan penduduk di pantai Baron untuk mengembangkan mikroalga sebagai biofuel dan nantinya bisa dipasarkan oleh Pertamina,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)