Sistim hukum Indonesia tidak mendukung upaya pembatasan bertambahnya tunggakan perkara di Mahkamah Agung, sehingga terjadinya kelambanan proses penanganan perkara lebih disebabkan faktor eksternal Mahkamah Agung. Penyediaan dana bujeter APBN selama ini sangat terbatas. Begitulah salah satu butir kesimpulan Henry Pandapotan Panggabean saat mempertahankan desertasi berjudul “Peranan Mahkamah Agung Dalam Pembangunan Hukum Melalui Putusan-putusannya di bidang Hukum Perikatan” hari Kamis (29/9) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Lebih dari itu, iapun menyimpulkan bahwa Yurisprudensi dalam pelaksanaan peranan Mahkamah Agung lebih disebabkan factor internal Mahkamah Agung. Fungsi pengawasan dan pembinaan SDM tidak didukung prinsip pemberian nilai berupa “Reward” dan “punishment”, meskipun Mahkamah Agung telah produktif menerbitkan berbagai SEMA, PERMA, dan Skep MARI, akan tetapi pelaksanaan pranata tersebut tidak efektif.
Menurut Henry Panggabean meskipun Mahkamah Agung telah memutus ribuan perkara sejak tahun 1966 hingga tahun 2000, akan tetapi dengan terbatasnya yurisprudensi sebagaimana yang ditemukan dalam penelitiannya, maka pelaksanaan peranan Mahkamah Agung di bidang pembinaan/keseragaman dalam penerapan hukum sangat tidak produktif.
Oleh karena itu, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI tahun 1997-2002 menyarankan perlu diupayakan agar sistim “writ certiorari” yang berlaku di Amerika dapat menjadi pedoman untuk mengurangi tunggakan perkara. “Perlu diupayakan penerapan ‘devisional system’ untuk meningkatkan kualitas profesionalitas para hakim semenjak tingkat judex facti. Pelaksanaan ‘devisional system’ ini seyogyanya diikuti proses pelatihan-pelatihan studi kasus berdasar prinsip-prinsip penemuan hukum. Perlu pula diupayakan penyempurnaan hukum acara perdata dengan tujuan mempercepat proses penanganan sengketa di MA”, ujar Henry menyarankan (Humas UGM).