![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/2104151429596114346992184.jpg)
YOGYAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat akan melakukan revisi UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Perubahan UU tersebut masuk dalam prolegnas RUU tahun 2015. Namun demikian perubahan UU tersebut diharapkan tidak menghambat kemampuan daya saing BUMN serta mendorong kemanfaatan yang lebih besar BUMN bagi kesejahteraan masyarakat. Demikian dari hasil Kunjungan 11 Anggota Komisi VI DPR RI saat bertemu dengan pakar hukum dan pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada yang berlangsung di Kantor Pusat UGM, selasa (21/4). Beberapa anggota komisi VI DPR RI yang hadir diantaranya Heri Gunawan, Dodi Reza Alex Noerdin, Aria Bima, dan Tifatul Sembiring.
Pakar Hukum Bisnis dari Fakultas Hukum UGM, Prof. Nindyo Pramono mengatakan terdapat ketidakharmonisan antara UU Tipikor, UU Kekayaan Negara, UU BPK, terhadap UU BUMN, UU Yayasan, dan UU LPS. Salah satunya mengenai persepi terhadap bentuk kerugian bisnis usaha yang dialami oleh BUMN sebagai bentuk kerugian negara. “Kerugian negara ini bisa masuk dalam perangkap undang-undang tipikor,” kata Nindyo.
Ketidakharmonisan UU dalam menafsirkan pengertian kerugian negara ini perlu disinkronkan lagi agar tidak terjadi ketidakharmonisan dalam beberapa aturan hukum yang ada di Indonesia. Menurut Nindyo, hukum merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu fondasi hukun adalah kepastian hukum dengan adanya asas keadilan dan kemanfaatan. Sebagai sistem hukum, dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Apabila terjadi konflik maka diselesaikan dalam sistem. “Ketidakharmonisan ini jangan dipelihara tapi saya melihat juga tidak pernah ada yang berani menyentuh,” terangnya.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Dosen Hukum UGM lainnya Dian Agung Wicaksono. Menurutnya, diperlukan reformulasi apakah kerugian BUMN perlu dimasukkan dalam dikotomi kerugian negara. Mengingat terdapat business judgement rules sebagai pembenar tindakan korporasi yang terukur dalam tata kelola korporasi. “Yang ditakutkan pengeloa BUMN apabila tidak untung dianggap kerugian negara,” tegasnya.
Agung juga menyoroti tentang lemahnya pengawasan dan penegakan UU BUMN. Bahkan fungsi pengawasan dan anggaran oleh DPR dinilainya masih sangat lemah pada pengawasan kebijakan penyertaan modal BUMN. “Selama ini penyertaan modal cukup dengan peraturan pemerintah,” imbuhnya.
Soal posisi menteri BUMN dalam mengambil keputusan strategis pada pengelolaan BUMN menurutnya perlu ditinjau ulang. Seharusnya yang diberi wewenang adalah menteri keuangan. Alasannya menteri keuangan bisa dipastikan adalah dari kalangan akademisi atau praktisi bukan dari partai politik.
Heri Gunawan, Anggota Komisi VI DPR RI, mengatakan rencana perubahan UU BUMN diharapkan nantinya pengelolaan BUMN akan menjadi lebih baik lagi. Dia beralasan selama ini pengawasan BUMN oleh DPR masih sangat lemah terutama dalam mengawasi kebijakan privatisasi atau penjualan aset milik BUMN. “Perubahan UU ini lebih berkualitas dan mampu meningkatkan kinerja BUMN sebagai agen pembangunan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)