![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/2204151429692751389544430-680x510.jpg)
Sebagai salah satu planet dalam gugusan tata-surya, Bumi yang dapat dihuni oleh makhuk hidup telah dieksploitasi secara berlebihan. Bahkan eksploitasi tersebut telah melebihi kapasitas alaminya, sehingga kerusakan bumi saat ini semakin parah. Dalam sidang The International Panel on Climate Change (IPCC) akhir tahun 2014 lalu, dilaporkan bahwa pemanasan global yang melanda bumi saat ini dipercaya 95 persen akibat ulah manusia sendiri.
“Bumi telah dengan suka rela menyediakan layanan jasa lingkungan dan kehidupan berupa oksigen, air, pangan, energi, kebutuhan hidup lainnya secara gratis kepada seluruh makluk hidup. Meski begitu, manusia sebagai khalifah di bumi ini justru telah mengekploitasinya secara berlebihan,” kata Prof. Dr. Cahyono Agus, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Rabu (22/4) bertepatan Peringatan Hari Bumi 2015.
Oleh karena itu, Cahyono Agus yang juga Kepala KP4 UGM berharap munculnya kesadaran bila bumi tidak hanya memiliki daya dukung yang terbatas, namun juga terus mengalami penyusutan sementara permintaan terus membesar. Bumi saat ini boleh dibilang kewalahan melayani 7,2 miliar jiwa manusia.
Jika populasi penduduk bumi terus meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025, maka kebutuhan manusia semakin sulit terlayani. Bahkan justru semakin menjadi tekanan terhadap bumi.
“Sangat disayangkan, kita masih terus menggantungkan ego cara bertahan hidup dengan terus mengeruk bumi secara rakus dan tanpa henti, dengan kecepatan eksponensial. Menjadikan bumi semakin rusak, renta tak berdaya. Sedangkan tingkat kesadaran manusia terhadap keberlangsungan kehidupan bersama tidak juga tumbuh. Maka hampir tidak mungkin untuk melihat nasib manusia di masa depan,” katanya.
Cahyono Agus menuturkan, meski telah merasakan dampak negatif hilangnya kenyamanan jasa lingkungan dan kehidupan oleh bumi, kenyataan upaya penyelamatan dan perbaikan kondisi bumi belum juga mendapat porsi dan prioritas utama. Banyak pihak masih acuh dan tidak peduli terhadap nasib bumi, dan lebih menyalahkan dan menyerahkan kepada orang lain untuk memperbaikinya.
“Padahal seharusnya kita bisa ikut berkontribusi secara nyata untuk ikut menyelamatkan bumi ini. Kita tak bisa terus berdiam diri lagi. Kita harus rawat bumi seisinya untuk kepentingan seluruh makluk hidup dalam jagad bumi biru yang bermartabat secara berkelanjutan,” ajaknya di Peringatan Hari Bumi 2015.
Menurut Cahyono Agus, diperlukan konsep implementasi yang mampu memberi kesadaran, kemampuan, wawasan dan konsep secara cerdas, luas, mendalam dan futuristik tentang lingkungan global kepada semuapihak guna mendukung pengembangan berkelanjutan. Karena itu, Konsep Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development / EfSD) perlu dikembangkan melalui pendidikan formal, nonformal dan informal.
Konsep Pendidikan EfSD merupakan instrumen kuat dan efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan dapat untuk memobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan. Bahwa upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup di bumi ini perlu dikontribusikan secara nyata dalam setiap kehidupan sehari-hari.
Konsep ekonomi biru yang dikembangkan oleh Gunter Pauli dari ZERI Foundation pada tahun 2009, telah memberikan kesempatan kreatif dan inovatif baru yang berkelanjutan, bersih dan bermartabat. Hal tersebut perlu dikembangkan menjadi revolusi biru, melalui percepatan proses siklus alami dalam pemberdayaan sumber daya alam tersedia, bahkan yang marjinal, terlantar maupun terbengkelai, agar mempunyai nilai tambah ekonomi, lingkungan, sosial budaya, teknologi, pengelolaan bagi kenyamanan kehidupan bersama.
“Planet biru kita terdiri atas samudera biru seluas 72 persen dan langit biru lebih dari 95 persen. Mestinya, harus juga didukung oleh bumi biru, sebuah bumi hijau asri yang mampu mendukung terciptanya langit dan laut biru”, tutur Ketua Green Network Indonesia Wilayah DIY- Jateng.
Langkah nyata seperti Program “Jagad Biru Rahayu”. Yaitu mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan melalui penataan tata ruang biru, kampus/kota/desa biru, air segar, udara biru, pangan sehat, energi biru, ekonomi biru, lingkungan asri, harmoni lingkungan kehidupan, dan masyarakat sejahtera merupakan langkah pasti untuk membangun lingkungan dan kehidupan bermartabat.
“Paradigma baru peran hutan dan ruang hijau terpadu sebagai sumber oksigen, air kehidupan, pangan, pakan, pakan, pupuk, energi, pengatur suhu, yang sangat penting bagi lingkungan dan kehidupan bersama, perlu digalang. Mari kita galakkan gerakan “ruang taman hijau” yang membutuhkan komitmen dan tanggung jawab individual dan bersama yang harus dikontribusikan secara nyata dalam penyelamatan bumi ini. Kita bisa berperan besar untuk menanam pohon sebanyak-banyaknya di lingkungan kita masing-masing,” ajaknya lagi. (Humas UGM/ Agung)