![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/30041514303714681470366413-765x510.jpg)
Defisiensi Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD) merupakan kelainan enzim yang sering diderita manusia. Setidaknya 400 juta orang di berbagai belahan dunia diperkirakan menderita kelainan akibat kurangnya enzim G6DP yang membantu sel darah merah berfungsi normal. Kejadian G6DP banyak dijumpai di daerah endemis malaria termasuk Indonesia.
Meskipun tidak menunjukkan gejala yang jelas, penderita defisiensi G6DP akan mengalami hemolisis atau kerusakan sel darah merah jika terpapar oksidan setelah pemberian obat-obatan tertentu,infeksi dan memakan kacang fava. Prof. dr. Supargiyono, DTM&H., SU., Sp.Par(K), ahli parasitologi UGM menyebutkan pentingnya pemeriksaan G6DP terhadap penderita malaria fifax sebelum mendapatkan pengobatan anti malaria atau primakuin. Pasalnya penderita defisiensi G6DP akan mengalami hemolisis saat terpapar pengobatan primakuin selama 14 hari . “Skrining diperlukan khusunya di daerah endemik malaria,” terangnya, Kamis (30/4) di sela-sela kegiatan Tropical Medicine Update di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM.
Adanya deteksi dini pada penderita malaria, dikatakan Supargiyono dapat meminimalisir kejadian hemolisis sehingga menunjang keberhasilan pengobatan pada pasien. Penderita yang diketahui positif menderita G6PD selanjutnya akan diberikan terapi obat yang berbeda yakni memberikan obat-obatan yang tidak berisiko menimbulkan hemolisis. “Hanya saja selama ini belum ada yang melakukan deteksi G6DP ini. Kebanyakan baru diketahui saat penderita mengalami hemolisis ditandai dengan kencing yang menghitam, setelah ada persitiwa tersebut terapi primakuin baru dihentikan dan diganti pengobatannya,” urai dosen Fakultas Kedokteran UGM ini.
Supargiyono menuturkan banyak faktor yang mempengaruhi belum adanya skrining terhadap G6DP secara menyeluruh di Indonesia. Salah satunya, tes yang bersifat rumit dan harus dilakukan di laboratorium. Sementara, belum banyak laboratorium di Indonesia yang mampu melakukan pemeriksaan tersebut. “Baru beberapa laboratorium saja yang bisa seperti di FK dan di sejumlah lab di Jakarta,”ujarnya.
Tidak hanya keterbatasan laboratorium, Supargiyono menyampaikan mahalnya biaya pemeriksaan turut menghambat upaya skrining. Ditambah dengan terbatasnya ahli yang mampu melakukan pemeriksaan. “Sebenarnya skrining ini sangat penting sebagai dasar penentuan pengobatan guna menghindari hemolisis bagi penderita G6DP,” tegasnya.
Jontari Hutagalung, peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM menyampaikan hal senada. Ia menegaskan pentingnya penyusunan protokol dalam terapi malaria penderita G6DP dengan segera karena tingkat kejadian malaria di Indonesia masih tinggi. Dengan adanya protokol yang jelas ia berharap dapat menekan angka kejadian hemolisis dalam pengobatan. “Banyak kasus G6DP yang tidak terdeteksi sehingga sangat dibutuhkan alat uji yang presisi dan murah untuk dijadikan kebijakan nasional,” terangnya.
Setelah diperoleh hasil skrining tersebut, lanjutnya, pemerintah bisa membuat kartu status G6DP bagi penderita. Dengan adanya kartu tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi tenaga medis dalam penentuan obat dalam pelaksanaan terapi. “Jadi dokter bisa tahu kondisinya sehingga menghindari pemakaian obat yang membahayakan penderita kekurangan G6DP,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)