Gelar Wicara (Talkshow) “The Future of The Study of Religion in Indonesia: Opportunities and Challenges” menjadi salah satu kegiatan pembuka pelaksanaan Konferensi Internasional The Association for Asian Studies (AAS) – in Asia, di Universitas Gadjah Mada. Dilaksanakan di Gedung Sekolah Pascasarjana pada Senin (8/7) malam, kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 200 peserta AAS yang telah tiba di Yogyakarta sehari sebelum rangkaian kegiatan AAS dimulai keesokan harinya. Tampak hadir dalam workshop diantaranya, Dr. Widyanto Dwi Nugroho, S.Hut., M.Agr. – Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerja Sama Sekolah Pascasarjana, Dr. Samsul Maarif, M.A. – Kepala Program Studi Magister The Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Prof. Dr. Fatimah Husein, dan Dr. Zainal Abidin Bagir selaku perwakilan The Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), serta empat narasumber lainnya.
Widyanto Dwi Nugroho selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerja Sama Sekolah Pascasarjana menyambut dengan senang hati para peserta yang hadir pada malam itu untuk membahas peluang dan tantangan masa depan studi keagamaan di Indonesia. “Semoga semuanya bisa menikmati talkshow dan berbagi pengalaman untuk mendistribusikan positif spirit, terutama terkait dengan tema keagamaan yang akan kita diskusikan,” sambutnya. Ia menambahkan talkshow ini sebagai kegiatan pemantik untuk memulai AAS 2024 dengan tujuan untuk menggali kompleksitas dan kekayaan praktik serta studi keagamaan di Indonesia.
Sementara, Dr. Samsul Maarif, M.A. selaku Kepala Program Studi Magister The Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) dalam sambutannya menjelaskan tentang Program Studi Inter Religious Studies (IRS) yang terdiri dari CRCS untuk jenjang S2. Sedangkan Prodi S3 diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), sebuah konsorsium yang terdiri dari UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana. “Kekuatan utama kami adalah mempelajari agama-agama di Indonesia, khususnya Islam. Kami harapkan, adanya diskusi dengan para narasumber malam ini bisa memproduksi pengetahuan baru yang akan bermanfaat pada pengembangan Prodi IRS ke depannya,” jelas Samsul.
Tak lupa Samsul juga menjelaskan perihal beasiswa yang ditawarkan oleh prodi IRS yang bisa dimanfaatkan oleh calon mahasiswa dari mana saja tanpa memandang agama dan negara asal. “Didirikan sejak tahun 2006, kami memiliki misi untuk menyediakan tempat pembelajaran agar mahasiswa memiliki keterampilan komunikasi lintas agama dan lintas disiplin, serta mempromosikan perdamaian dan keadilan bagi semua umat,” tutupnya.
Memasuki sesi diskusi, Prof. Dr. Fatimah Husein, selaku Associate Director ICRS dan juga peneliti pada bidang studi Islam dan dialog antaragama berperan sebagai moderator untuk empat narasumber yang dihadirkan pada malam itu, yaitu Prof. Robert Hefner (Boston University), Prof. Nelly van Doorn-Harder (Wake Forest University), Dr. Lena Larsen (University of Oslo), dan Prof. Greg Fealy (Australian National University). Sebelum diskusi dimulai, Fatimah berperan memberikan pertanyaan pemantik tentang riset yang dilakukan oleh masing-masing narasumber terkait dengan studi keislaman di Indonesia yang mereka lakukan.
“Indonesia memberikan contoh kolaborasi yang tepat dalam sistem pluralisme. Agama berperan untuk meningkatkan dan menguatkan demokrasi, kerakyatan, dan kebhinekaan. Jadi asumsi bahwa pemisahan antara negara dan agama haruslah menjadi model pemerintahan, jelas asumsi kebijakan yang keliru,” tutur Robert Hefner. Ia menjelaskan terlepas dari tantangan yang dihadapi Indonesia seperti demonstrasi, negara ini mampu menunjukkan bahwa demokrasi dan Islam dapat bergerak beriringan. Hefner memandang Indonesia mampu membuat demokrasi berfungsi, hal inilah yang membuat negara kepulauan ini menjadi negara yang luar biasa.
Nelly van Doorn-Harder, yang banyak meneliti tentang peran perempuan dalam komunitas agama di Indonesia, memberikan perspektifnya mengenai studi tentang keragaman agama dan isu gender di Indonesia. “Bersama Komnas Perempuan, kami melakukan kampanye untuk mengedukasi melalui media massa, platform digital, pertemuan lokal, dan kelompok studi Alquran untuk mengenalkan konsep kebebasan beragam bagi perempuan,” ujar Nelly. Ia menambahkan tentang diskusi yang banyak ia lakukan untuk mengadvokasi fiqh bagi anak untuk memfasilitasi realisasi hak asasi perempuan pada ajaran agama Islam. “Proses ini mungkin memakan waktu yang lama dan jalan yang masih Panjang, namun kami yakin hal ini akan menawarkan kesempatan dan pilihan yang lebih luas yang dibutuhkan oleh remaja dan anak-anak perempuan,” tutupnya.
“Intoleransi dan ujaran kebencian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa, permusuhan terhadap agama bahkan menunjukkan peningkatan yang signifikan,” ungkap Lena Larsen yang secara aktif menyuarakan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Norwegia. Menurutnya, realitas kehidupan beragama dan jaminan negara bagi minoritas di Eropa mengungkapkan situasi kompleks yang tidak dapat dijelaskan secara utuh. “Hal ini karena status kebebasan beragama di Eropa bervariasi dari satu negara ke negara lain. Perbedaan kondisi demografi dan karakter kehidupan sosial politik sangat mempengaruhi sikap masing-masing negara terhadap kelompok minoritas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Larsen menjelaskan di Norwegia kesadaran akan pluralisme mulai muncul. “Kaum muda muslim kini mulai mengambil bagian dan terlibat aktif dalam kegiatan sosial masyarakat. Bahkan banyak perempuan menjadi anggota dewan komunitas masjid dan mulai berinisiatif untuk memperjuangkan kebebasan beragama di dalam dan di luar komunitas agama mereka,” tambahnya.
Narasumber terakhir, Greg Fealy, dikenal sebagai peneliti yang memiliki minat pada kajian politik dan Islam di Indonesia menyoroti beberapa mobilisasi besar oleh kelompok Islamis bersama kelompok lain yang cukup beragam dan ikut pada beberapa kegiatan demonstrasi di Jakarta. “Menurut saya, ini adalah salah satu indikator bahwa Islam konservatif sedang menguat, tetapi ada faktor politik di belakangnya yang menciptakan situasi itu. Fenomena ini yang belum bisa kami pahami secara utuh, perlu diteliti lebih jauh lagi,” tutup Fealy sebagai penanda diskusi dengan peserta akan segera dimulai.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto