Hingga saat ini, kata hipnosis masih memiliki stigma buruk di Indonesia. Padahal hipnoterapi klinis (clinical hypnosis) bisa digunakan sebagai metode penanganan atau terapi pendukung untuk mengatasi berbagai keluhan dan gangguan tertentu, termasuk gangguan mental. Fakultas Psikologi UGM melalui Kelompok Penelitian yang tergabung dalam Hypnotic Guided Imagery and Transpersonal Research Studio (HGI Studio) menggelar lokakarya bertajuk “Clinical Hypnosis dan Neuroscience: Membaca EEG dan Aplikasinya dalam Psikologi” pada Jumat (21/6) lalu di Ruang A-203 secara bauran, yang dihadiri oleh 72 peserta dari berbagai latar belakang dan profesi yang berbeda termasuk peneliti, dokter, psikolog dari beragam istitusi seperti puskesmas, rumah sakit, klinik, apotek, perguruan tinggi, perusahaan, serta organisasi profesi. Lokakarya ini menjadi bagian pertama dari tiga rangkaian yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang integrasi antara hipnoterapi klinis dan neurosains serta aplikasinya dalam praktik psikologi modern.
Neurosains adalah bidang studi yang mempelajari tentang sistem saraf atau sistem neuron dengan pendekatan multidisiplin, salah satunya adalah psikologi. Kajian neurosains penting dikembangkan dalam riset hipnoterapi klinis untuk menjelaskan respon neurologis dan fisiologis yang terjadi akibat dari intervensi yang diberikan. Prof. Dra. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., Psikolog, selaku Principal Investigator HGI Studio dan moderator lokakarya, membuka acara dengan memberikan gambaran mengenai penelitian hipnoterapi klinis yang telah dilakukannya sejak 2019 silam. Penelitian yang didanai oleh Riset Inovatif Produktif Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Keuangan RI (RISPRO–LPDP) ini bertujuan untuk mengembangkan pengukuran emosi manusia menggunakan peralatan psikofisiologis berupa EEG, HRV, GSR, dan suhu tubuh.
“Penelitian ini merupakan kolaborasi antar sembilan universitas di Indonesia, diantaranya Universitas Sumatera Utara, Universitas Gunadarma, Universitas Padjadjaran, Universitas Maranatha, Universitas Diponegoro, Universitas Kristen Widya Mandala, Universitas Udayana, dan Universitas Pendidikan Ganesha. Pengambilan data dilakukan secara simultan sehingga data yang kami peroleh merupakan sampel dari sembilan wilayah tersebut,” ungkap Kwartarini saat pembukaan.
Dari risetnya, ia menemukan penggunaan hipnosis dalam terapi mengakibatkan perubahan yang cepat pada kasus berhenti merokok dan fobia spesifik melalui memory reconstruction. “Perubahan positif pada subyek penelitian ini meyakini saya kalau hipnoterapi klinis dapat dimanfaatkan secara maksimal, oleh karena itu pada workshop kali ini kami menghadirkan Prof. Ismail untuk menjelaskan proses memory reconstruction dari perspektif fisiologis,” jelasnya.
Dihubungi secara terpisah, Edwin Gandawijaya, selaku anggota tim riset HGI studio Fakultas Psikologi menjelaskan bahwa dalam prosedurnya, hipnosis mendorong subjek mengalami keadaan relaksasi yang melibatkan korelasi syaraf pada otak. “Kenapa kami melibatkan bidang neurosains karena penelitian neurosains berperan untuk mengetahui proses terjadinya plastisitas otak yang berdampak pada perubahan kemampuan otak, serta hubungannya dengan sistem saraf otonom. Sistem ini memiliki kendali atas fungsi-fungsi tubuh yang tidak sadar seperti tekanan darah dan pencernaan,” ujar Edwin.
Guru besar bidang Neurologi Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. Dr. dr. Ismail Setyopranoto, Sp.S (K), dalam penjelasannya menjabarkan bahwa ketika tubuh menerima sinyal seperti nyeri, terjadi proses di mana sinyal tersebut bisa diperkuat atau diabaikan. Proses ini melibatkan zat kimia seperti tnf alpha dan tnf beta, di mana tnf beta bertindak sebagai pelindung. “Organ tubuh kita selain otak hanya menerima perintah, dengan pengaturan yang tepat, rasa sakit dapat diminimalkan. Begitu juga dengan stress, jika bisa dikelola dengan baik maka kesehatan mental akan terjaga,” tutur Ismail.
Ismail juga menjelaskan tentang konsep keseimbangan dalam tubuh yang disebut milieu interior. Menurutnya, penting untuk tidak melihat bakteri sebagai musuh yang harus segera dihilangkan, karena tubuh kita memerlukan antibodi untuk melawan infeksi. Lebih lanjut, ia menjabarkan tentang proses eksitasi dan inhibisi yang digunakan dalam mengatur keseimbangan aktivitas sistem saraf dan proses fisiologis manusia.
“Dalam pembelajaran motorik, terjatuh tidak boleh dianggap sebagai suatu hambatan untuk seorang anak berhenti belajar berjalan, tetapi terjatuh ini menjadi bagian dari proses di mana anak mengatur keseimbangan dan memperbaiki keterampilan motoriknya dari waktu ke waktu,” jelasnya. Pengalaman ini memungkinkan otak anak untuk memperbaiki jalur-jalur saraf dan memperkuat hubungan sinaptik yang diperlukan untuk koordinasi gerakan yang lebih baik.
Reportase: Edwin Gandawijaya
Penulis: Triya Andriyani