Program pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan telah diumumkan sejak 2019 lalu oleh Presiden Jokowi. Pembangunan terus dikerjakan hingga Ibu Kota Nusantara (IKN) diresmikan di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Rencana pemindahan ibu kota ini tentunya memiliki berbagai konsekuensi. Melalui isu ini, diskusi kolaborasi antara Fakultas Geografi dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pun diselenggarakan pada Senin (7/8) bertajuk “Studium Generale: Studying Frontiers of Development in Indonesia”.
“Rencana tata kota di IKN memang telah dirancang dengan batasan-batasan teritorial yang jelas. Sayangnya, secara geografis hal ini belum dipertimbangkan. Kita bisa melihat bahwa untuk membangun sebuah kota, perlu adanya perencanaan dan pertimbangan yang berbasis probabilitas masa depan,” tutur Dr. Kei Otsuki, Associate Proffessor dari Utrech University. Kei menambahkan, beberapa pertimbangan yang penting untuk diperhatikan adalah pergerakan tanah, perkembangan lahan, pembagian energi, sumber daya, dan berbagai hal lain yang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan.
Proses pemindahan ibu kota seharusnya tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Sebagai pusat administrasi negara, IKN belum sepenuhnya siap baik dari segi pembangunan dan sosial. “Beberapa masalah yang diperkirakan dapat terjadi, khususnya dalam konteks lingkungan adalah eksistensi dari hutan mangrove. Jika IKN sepenuhnya sudah menjadi ibu kota, dikhawatirkan hutan mangrove akan berubah fungsi, bahkan hilang. Belum lagi jika ada berbagai program lain yang kemudian membuat penggunaan lahan tidak sesuai rancangan awal,” tambah Kei.
Jika pemindahan ibu kota berlangsung dalam 10 tahun ke depan, urbanisasi tentunya menjadi masalah besar yang muncul. Pusat-pusat industri, kantor perusahaan, bahkan masyarakat pun akan berbondong-bondong ke IKN dan menyebabkan membeludaknya populasi. “Saat ini, pertumbuhan penduduk di Kalimantan Timur sangat tinggi, ya. Berdasarkan laporan dari tahun 2020, pertumbuhan penduduk mencapai 3,77% dan akan menjadi dua kali lipat dalam 18 tahun ke depan karena adanya pemindahan ibu kota,” ujar Guru Besar Fakultas Geografi, Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc. Meskipun begitu, tetap diyakini bahwa Jakarta masih akan menjadi ibu kota utama, paling tidak dalam lima tahun ke depan.
Dampak pemindahan ibu kota paling banyak akan dirasakan oleh penduduk lokal dan lingkungan. Adanya urbanisasi ke ibu kota tentunya dapat memberikan efek “perluasan” yang tidak terkontrol, bahkan berpotensi mendesak masyarakat lokal. Hal ini telah mendapatkan tindakan preventif, dengan menggabungkan konsep desa dan kota dalam “Forest City”, yakni konsep tatanan IKN berbasis hubungan desa dan kota. Konsep ini tidak hanya mengalokasikan lahan di IKN untuk masyarakat migran, namun juga memberikan aksesibilitas lebih pada masyarakat lokal.
“Kemungkinan besar, konsep Desakota yang diterapkan dalam IKN akan membuat daerah-daerah di sekitar IKN sebagai pemain utama dalam urbanisasi. Prediksi ini diikuti oleh investasi properti yang telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak,” ujar Rijanta. Menurutnya, sejauh ini proses pemindahan ibu kota berjalan sangat optimis, namun juga penuh ketidakpastian.
Penulis: Tasya