Sebagaimana tahun-tahun politik sebelumnya, bentuk kritik selalu hadir sebagai bagian dari proses demokrasi. Tepat pada 11 Februari 2024 lalu, film “Dirty Vote” resmi dirilis dan tercatat mendapat enam juta penayangan di hari pertama. Film dokumenter berdurasi hampir dua jam tersebut melibatkan tiga ahli hukum tata negara, salah satunya adalah pakar hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
“Awalnya itu kita membuat riset tentang pemilu, kemudian datanglah Dhandy, dia baca baru kemudian dia tertarik untuk dibuatkan film. Lalu dia bilang untuk mengajak kami bertiga dalam film ini. Akhirnya dikaji lagi riset ini sebelum dibuatkan dalam film, kemudian kita perdebatkan,” jelas Zainal dalam diskusi di Fisipol UGM pada Selasa (13/1). Proses pembuatan film ini sangat berhati-hati mengingat isu politik dapat memantik reaksi besar dari masyarakat. Terbukti, film “Dirty Vote” menuai berbagai reaksi dan kontroversi di tengah masyarakat.
Secara singkat, Dirty Vote memuat hasil riset terhadap kecurangan-kecurangan pemilu dari tahun ke tahun. Bukti-bukti dipaparkan oleh ketiga pakar hukum, yakni Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. dari Universitas Andalas, Bivitri Susanti, S.H., LL.M. dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dan Zainal Arifin sendiri dari UGM. Selama 1 jam 57 menit, penonton dipaparkan oleh fenomena politik yang terjadi menjelang pemilu. Mulai dari ketidaknetralan pemerintah, anggaran dan penyeluran bansos, pelanggaran etik, dan lain-lain.
“Ini bukan film pertama Mas Dhandy, orang-orang di belakang layar pun sudah tahu resikonya. Tapi faktanya, kami dalam pembuatan film ini tidak didukung siapapun. Kalau seandainya ada pihak yang mendukung kami, maka kami tidak akan mengalami kesulitan pendanaan. Susah sekali menghadapi tuduhan ini, bahkan sekarang laporan keuangan masih belum lunas. Kalau ada kepentingan kandidat tidak mungkin,” terang Zainal.
Menurutnya, kecurangan pemilu bukanlah hal baru dalam demokrasi. Kejahatan demokrasi, konflik kepentingan, hingga kecurangan politik sangat umum terjadi. Problematika menahun inipun terbentuk dalam sebuah sistem yang sudah tidak dapat dibendung. Inilah pentingnya bentuk kritik seperti film “Dirty Vote” yang juga dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Film ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengkritik, namun turut memberikan pandangan pada masyarakat dalam memberikan hak pilihnya.
“Sebelum masuk proses produksi film, kami berdebat dalam riset kami ini. Kalau ada bukti yang tidak kuat atau kurang meyakinkan, tidak akan kami naikkan. Kita melihat bahwa hampir tidak ada yang baru. kecurangan itu sistematis, jadi kita hanya menjahitnya menjadi satu lagi,” jelas Zainal. Proses ini diakui cukup rumit dan memakan banyak waktu jika dibandingkan proses produksi film secara teknis.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Wawan Mas’udi, S.IP., MPA, Ph.D. memberikan penjelasan bagaimana film ini merupakan bagian demokrasi yang penting. Tidak ada sistem demokrasi yang paling benar ataupun salah. Kritik dan pendapat perlu digulirkan untuk memperbaiki sistem menjadi lebih baik. Sayangnya, tidak semua kritik tersebut dapat tersampaikan dan diterima dengan baik. Wawan menyebutkan, film “Dirty Vote” tidak semata-mata berperan sebagai kritik, tapi juga menjadi dokumentasi bagaimana pemilu tahun ini berlangsung.
“Demokrasi sudah berjalan bertahun-tahun lalu. Tidak ada pemilu yang berjalan paling baik, tapi sepertinya masyarakat kita ini seringkali melupakan sejarah. Perlu diingatkan, apapun yang terjadi dan proses yang bergulir. Jadi film ini kelak akan menjadi pengingat dan bahan evaluasi di masa depan untuk demokrasi kita,” papar Wawan.
Penulis: Tasya