Artificial Intelligence (AI) dipandang sebagai salah satu teknologi yang paling menjanjikan di masa depan. Hampir seluruh sistem digital saat ini menggunakan AI untuk memberikan kemudahan akses, personalisasi pengguna, hingga ancaman digital. Maraknya penggunaan AI ini muncul di berbagai sektor sebagai bentuk kemajuan teknologi, tak terkecuali sektor finansial atau keuangan. Sinergi Kagama dan UGM membahas isu tersebut dalam diskusi Sinergi UGM Kagama #10 bertema “AI dan Penguatan Keuangan Inklusif” pada Sabtu (25/11).
“Kita tahu di masa perubahan yang cepat ini luar biasa, dalam berbagai lanskap sekarang sudah memasuki era digital. Bahkan di berbagai negara itu perbankan sudah mulai tutup karena orang sudah berpindah seluruhnya ke digital. Tapi kita di Indonesia mengalami tantangan karena akses terhadap perbankan masih rendah. Jadi tidak semua masyarakat itu memiliki akses terhadap perbankan maupun lembaga keuangan lain,” tutur Dr. Aagn Ari Dwipayana, S.IP, M.Si, selaku Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Kagama dan Koordinator Staf Khusus Presiden.
Indonesia masih sangat jauh untuk dapat dikatakan Go Digital. Akses masyarakat terhadap perbankan masih mencapai 40%, dengan mayoritas pengguna masih berbasis daerah perkotaan. Penggunaan layanan perbankan pun hanya dibataskan pada layanan menabung dan menarik uang saja. Padahal harapannya, masyarakat bisa memanfaatkan layanan perbankan untuk mengelola usaha yang dibangun. Maka untuk mencapai tahap selanjutnya, yakni digitalisasi sistem keuangan, perlu komitmen dan dorongan yang lebih kuat agar masyarakat mau dan percaya untuk memanfaatkan layanan digital saat ini.
Penerapan AI di bidang keuangan dijelaskan oleh Frederica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif PEPK Otoritas Jasa Keuangan. “Secara umum AI mencakup proses bisnis dari end-to-end di sektor jasa keuangan, mulai dari back office sampai front office. Contohnya, dalam kegiatan seperti aset manajemen dan pemberian kredit, AI digunakan pengecekan untuk calon konsumen. AI juga digunakan untuk berkomunikasi melalui chatbot dan menyusun personalized recommendation terkait layanan keuangan. Namun terdapat berbagai risiko, antara lain seperti risiko kebocoran data,” tutur Frederica.
Kemudahan yang ditawarkan AI memberikan dampak negatif di satu sisi. Kurangnya supervisi ataupun campur tangan manusia dapat menyebabkan sistem mudah diretas. Untuk itu, perlu adanya strategi penguatan untuk mendorong ketahanan dan keamanan data. Selain dari segi preventif sistem dan pengelolaan AI, sosialisasi ke masyarakat perlu digencarkan. Karena sebagai pengguna, masyarakat perlu sadar akan berbagai modus penipuan yang berpotensi menyebabkan kebocoran data.
Proses akumulasi data untuk AI membutuhkan data yang berkualitas dalam jumlah banyak. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam penerapan AI di bidang finansial ini adalah akumulasi data yang terpublikasi masih sangat terbatas. Satu sisi data memang menjadi unsur penting yang perlu dijaga kerahasiannya. Namun di satu sisi, data juga berperan penting mendorong penerapan teknologi di berbagai sektor. Karenanya, penting untuk membangun kebijakan inklusif yang meliputi tanggung jawab penggunaan data konsumen.
“Ini merupakan tantangan di Indonesia, yaitu data yang bebas diakses ini masih sangat terbatas. Sumber daya manusia juga menjadi salah satu tantangan penerapan AI mengingat masih minimnya SDM yang memiliki kompetensi di bidang AI. Lebih jauh, etika dan regulasi penerapan AI juga menjadi tantangan tersendiri. Terutama kebijakan yang bisa mengatur etika dan kebijakan AI di Indonesia,” ujarnya.
Penulis; Tasya