Di tengah wacana penguatan ekonomi kerakyatan, program pendanaan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih justru menimbulkan persoalan mendasar dari tingkat akar rumput. Alih-alih tumbuh secara organik dari kebutuhan riil masyarakat, program ini hadir dengan pendekatan top-down dan target pendirian 80.000 unit yang masif. Hal ini memicu kekhawatiran dari kalangan akademisi mengenai kesiapan dan keberlanjutan program di lapangan.
Hal itu mengemuka dalam Melalui International Guest Lecture dan Peluncuran Policy Paper Series Koperasi Merah Putih yang diinisiasi oleh Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN), FH UGM , Selasa (28/9),di ruang seminar Fakultas Hukum UGM.
Ketua Departemen HAN FH UGM, Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D. menyoroti soal beberapa risiko fundamental terkait pemberian pinjaman pada koperasi merah putih. Sebab, desain regulasi yang ada sekarang ini dinilai lebih fokus pada percepatan persetujuan pinjaman daripada verifikasi yang cermat. “Aneka produk hukum yang lahir didesain agar pejabat termasuk bank Himbara untuk condong menyetujui proposal bisnis yang diajukan Kopdes merah putih agar mendapatkan akses pendanaan dari Bank.” ungkapnya.
Ia mengkhawatirkan pola ini akan mengulang masalah yang terjadi pada era UU Cipta kerja, yakni memberikan izin terlebih dahulu kemudian memikirkan masalah di akhir.
Richo juga mengkhawatirkan target kuantitatif yang ambisius untuk mendirikan 80.000 koperasi desa akan semakin menggerus proses verifikasi yang berbasis kehati-hatian. “Patut dikhawatirkan bahwa jargon launching 80 ribu koperasi desa pada awal-tengah tahun ini hanya akan semakin menekan psikologis pejabat yang terlibat dalam verifikasi proposal bisnis untuk cenderung menyetujui proposal yang masuk guna mencapai target tersebut,”katanya.
Sementara Dosen Hukum UGM lainnya Dr. Hendry Julian Noor, dosen HAN UGM lainnya menilai program pemerintah ini lebih banyak menekankan besarnya akses pendanaan dan skema penanggulangan kerugian melalui pemblokiran dana desa, tapi minim sosialisasi mengenai tanggung jawab personal pengurus apabila terjadi kerugian. “Jangan sampai pengurus Kopdes mispersepsi, bahwa boleh tidak cermat atau sengaja rugi, karena kerugian kelak akan ditanggung melalui pemblokiran di masa depan melalui dana desa atau dana bagi hasil,” jelasnya.
Asisten penelitian Departemen HAN FH UGM, Syafa M. Aufa, menyoroti adanya unsur ketergesaan yang membayangi program ini diluncurkan. Ia mengamati jarak waktu yang hanya berselang empat bulan antara produk hukum pertama yang lahir tentang Kopdes MP, yakni Surat Edaran (SE) Menkop, pada 18 Maret 2025 dengan peluncuran nasional Kopdes Merah Putih yang dilaksanakan pada 21 Juli 2025. “Tidak logis untuk mengharapkan koperasi mampu menyusun rencana bisnis yang berkualitas dalam waktu yang relatif terbatas,” ujarnya
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kemenkop dan Dok.Humas FH UGM
