Aktivisme dan jurnalisme digital, tidak sekadar memproduksi konten, tetapi juga mampu mendorong adanya gerakan moral masyarakat sipil terhadap isu perubahan sosial dan perbaikan demokrasi. Pasalnya lewat media digital ternyata mampu menggugah dan menggerakkan publik, terutama di kalangan generasi Gen Z dan Gen Alpha yang umumnya lebih mempercayai media sosial sebagai sumber informasi utama.
”Dalam krisis darurat demokrasi yang belum lama ini terjadi, gerakan repost di media sosial berhasil menjangkau 1,7 juta orang hanya dalam waktu satu jam,” kata Salah satu pegiat isu gender dan demokrasi, Firda Ainun Ula saat menjadi pembicara Diskoma edisi #15 bertema Refleksi Aktivisme dan Jurnalisme Digital dalam Perubahan Sosial, Sabtu (14/9) lalu.
Meski begitu, gerakan yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan sebaiknya harus terus konsisten agar perubahan sosial dan demokratisasi bisa menuju ke arah yang lebih baik. Selain itu, tantangan baru selalu muncul di ruang digital, sehingga penting untuk membentuk jaringan atau aliansi untuk menjaga lingkungan aktivisme digital agar lebih selalu aman dan terlindungi. “Yang tidak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat terkait isu-isu sosial dan politik,” ungkapnya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM juga menghadirkan sejumlah pembicara. Selain Firda Ainun, turut sumbang pemikiran Raymundus Rikang selaku Jurnalis Tempo, dan Masduki selaku Dosen Ilmu Komunikasi UII & Ketua PR2Media. Diskusi bertema Refleksi Aktivisme dan Jurnalisme Digital dalam Perubahan Sosial merupakan tanggapan terhadap situasi demokrasi yang menghangat di Indonesia, terutama terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai aturan pencalonan dalam pilkada.
Raymundus Rikang dari sisi perspektif jurnalisme menyoroti bagaimana disrupsi digital telah membawa perubahan besar dalam industri media cetak. Ia mencatat media cetak saat ini mulai ditinggalkan karena masyarakat kini lebih banyak mengkonsumsi informasi dari media online. Sementara tantangan besar lain datang dari adanya potensi regulasi seperti RUU Penyiaran. “Hal-hal semacam ini tentunya bisa jadi dirancang untuk menghambat kerja-kerja jurnalistik dan membatasi kebebasan pers” terangnya.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara jurnalis dan aktivis untuk bersama-sama menguji dan melawan narasi informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Narasi-narasi yang utamanya berkaitan ketika kebebasan informasi dan demokrasi berada dalam tekanan.
Sekedar informasi, forum diskusi kali ini memberikan kesempatan bagi para peserta untuk merefleksikan peran penting aktivisme dan jurnalisme digital dalam mendorong perubahan sosial di Indonesia. Terlebih di tengah situasi demokrasi yang penuh tantangan saat ini. Diskusi virtual kali ini pun diakhiri dengan pertukaran ide dan perspektif dari para peserta yang memiliki beragam latar belakang berbeda. Dr. Rahayu, M.Si. selaku kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi menilai dengan adanya pertukaran pandangan dan diskusi diharapkan dapat memberi jawaban atas bagaimana mestinya integritas keilmuan bisa dilihat.
Penulis : Agung Nugroho