
Ampo merupakan makanan tradisional asal Jawa Timur dan Jawa Tengah yang terbuat dari tanah liat yang dipotong tipis-tipis. Makanan tradisional ini secara turun temurun dipercaya oleh masyarakat dapat mengurangi rasa pahit pada bahan makanan, juga untuk mengobati berbagai macam penyakit, seperti menyerap racun dan juga menyehatkan pencernaan.
Sejak 2024 lalu, ampo resmi ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda atau intangible cultural heritage oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI. Hal ini menunjukan, bahwa ampo tak hanya sekadar menjadi camilan tradisional, namun juga menjadi bagian dari tradisi dan budaya yang ada di masyarakat.
Namun apakah ampo benar-benar aman untuk dikonsumsi terlepas dari statusnya sebagai warisan budaya takbenda? Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc. mengungkapkan bahwa ampo yang sebagian besar komponennya berasal dari silika dan alumina sebetulnya tidak mudah larut di air, dan tidak dapat diserap oleh tubuh, sehingga membuatnya tidak memiliki nilai gizi. “Sesuatu yang memberikan nilai manfaat di sini adalah sesuatu yang memang harus bisa dicerna. Dicerna berarti harus bisa larut,” kara Sri, Rabu (20/8).
Sedang perihal keamanannya, Sri Raharjo menekankan bahwa hal tersebut tergantung dengan sumber dari mana tanah tersebut berasal. Jika tanah yang diambil sebagai bahan berasal dari selatan gunung berapi masih berada di area pegunungan, maka tanah yang mengandung mineral tersebut masih relatif bersih. Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika sudah sampai di daerah dekat ladang atau pemukiman dan digunakan untuk berbagai keperluan seperti pemupukan, maka kemungkinan bahwa tanah tersebut sudah terkontaminasi dan tercemar zat-zat lain seperti pestisida dan logam berat seperti timbal sangat mungkin terjadi. “Kalau itu di daerah-daerah yang sudah terpapar dengan banyak cemaran tadi, maka upaya untuk memanfaatkannya perlu betul-betul memperhatikan hal cemaran itu tadi,” jelas.
Kandungan silika dan alumina dalam ampo sebagai adsorben yang memungkinkan padatan ini untuk menyerap dan mengikat zat-zat lainnya. Namun jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar dan frekuensi yang sering memungkinkan potensi timbulnya iritasi pada pencernaan. “Karena adanya gesekan oleh partikel pada benda padat yang tidak larut tersebut pada usus manusia. Terlebih, pada lansia dan orang-orang yang memiliki kondisi rentan,” imbuhnya.
Meski begitu, untuk tetap mempertahankan ampo sebagai warisan budaya tak benda dalam masyarakat, Sri berpesan untuk tetap memperhatikan segi kesehatan dan keamanannya dan menyarankan untuk memperhatikan siapa, berapa, dan kapan waktu mengonsumsi ampo tersebut. Menurutnya, jika dikaitkan dalam budaya maka ampo itu dihadirkan pada waktu-waktu dan kondisi-kondisi tertentu. “Kondisi ini bisa dikaitkan dengan kondisi tubuh orang yang mengonsumsinya, yang saya maksud apakah ada kondisi sehat atau sakit tertentu,” ujarnya.
Selain itu, faktor usia sangat mempengaruhi karena balita dan manula sangat beresiko. “Kalau ada kondisi, sedikit saja dalam pencernaannya pasti akan ada respon, maka dikonsumsinya oleh orang-orang dewasa yang memiliki imun yang tinggi dan dengan jumlah yang terbatas,”pesannya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Detik.com