Mengenakan sepatu bot, I Kadek Somadana (44) membawa galah bambu yang ujungnya sudah dipasang sabit untuk memanen buah sawit dan melepas pelepah sawit yang sudah tua. Sementara istrinya, Ni Luh Ernawati (40) mendorong gerobak angkong untuk membawa buah sawit yang sudah dipanen suaminya. Sesekali ia membereskan pelepah yang jatuh tersebut untuk disusun rapi di pinggir lahan sawit yang nantinya bisa diolah menjadi pupuk kompos.
Lokasi lahan sawit seluas kurang lebih satu hektar ini jaraknya hanya 50 meter dari rumahnya di Desa Tommo 1, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Desa ini berada di area kawasan Transmigrasi yang berada sekitar 84 kilometer dari Kota Mamuju. Di desa ini hampir semua keluarga transmigran bertanam sawit setelah padi tidak lagi cocok untuk ditanam di bekas rawa yang sudah mengering.
Kadek sendiri mengolah lahan sawit milik ayahnya. Selama hampir 15 tahun ini keluarga Kadek menggantungkan penghasilan dari hasil panen kebun sawit. Setiap dua minggu sekali, Kadek bisa panen sekitar 4-5 kuintal buah sawit. Untuk satu kilogram buah sawit dijual 2000 rupiah ke pengepul. “Rata-rata setiap bulan dapat sekitar 2 juta,” katanya.
Uang dari penghasilan ini, digunakan Kadek untuk menghidupi tiga orang anaknya dan kedua orang tuanya yang tinggal serumah dengannya. Sambil menunggu panen sawit, Kadek juga bekerja serabutan bila ada tetangga yang mengajaknya untuk jadi buruh harian lepas. Ada juga tetangga yang mengajaknya untuk mengangkut hasil panen sawit atau mengolah bibit kebun sawit. Kebetulan Kadek pernah 10 tahun bekerja sebagai mandor di perusahaan sawit Astra mengurusi plasma nutfah.
Meski dari kecil dan besar hidup di wilayah transmigran, Kadek memiliki tekad yang kuat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Anak keduanya, Made Emilia Cahyati (18), diterima kuliah di prodi ilmu dan Industri Peternakan, Fakultas Peternakan UGM lewat Jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Tidak hanya lolos masuk UGM tanpa tes, Emil juga mendapat beasiswa UKT pendidikan Unggul Bersubsidi sebesar 100 persen atau biaya kuliah gratis dari UGM.
Emil sebenarnya juga tidak menyangka akan diterima kuliah di kampus UGM. Sebab menurut cerita para gurunya, belum pernah satupun alumni SMA 1 Pangale, Kabupaten Mamuju Tengah, yang diterima kuliah di kampus UGM.
“Emil, yakin mau ambil UGM?”
“Saya yakin Bu,” kata Emil, meski dalam hatinya penuh rasa tidak percaya diri.
Namun Emil meyakinkan dirinya untuk memilih kuliah di UGM dikarenakan semenjak di bangku sekolah dasar hingga bangku SMP dan SMA ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah Favorit. Bahkan jarak sekolah SMA dari rumahnya ditempuh hingga 45 menit menaiki kendaraan roda dua melewati area kebun sawit.“Saya bergantian dengan teman setiap tiga hari sekali gantian bawa motor, patungan bensin,” katanya.
Pernah sesekali ban bocor, Emil dan temannya terpaksa datang terlambat sampai ke sekolah. Jika ban bocor di jalan, ia menunggu teman satu sekolah lainnya yang melintas untuk membantu mendorong atau ia menelpon ayahnya untuk menjemput.
Selama di bangku sekolah, Emil langganan juara kelas masuk rata-rata tiga besar. Ketertarikannya pada pelajaran matematika dan sastra mendorongnya mengikuti berbagai perlombaan dan sering berhasil menjadi juara. Emil pernah mendapat juara 1 bidang matematika pada lomba Olimpiade Sains Nasional Tingkat Mauju pada April 2023 se-Sulawesi Barat.Selain itu, ia juga pernah meraih juara 1 bidang lomba menulis cerpen pada Festival Lomba Siswa Nasional (FLS2N) jenjang SMA tingkat Kabupaten Mamuju Tengah.Di tingkat nasional, Emil juga pernah lolos lomba Utsawa Dharmagita Agama Hindu tahun 2021 yang diselenggarakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu Kemenag RI untuk kategori remaja. Lalu di tahun 2024 ini ia pun kembali lolos di ajang yang sama yang diselenggarakan di Solo, Jawa Tengah.
Meski tinggal di kawasan Transmigran, tidak menyulutkan langkah Emil untuk bisa mengenyam kuliah di kampus UGM. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa masuk UGM tanpa tes dengan mengikuti berbagai perlombaan. Menurutnya tidak ada yang tidak mungkin asal kita mau berusaha. “Dari awal memang saya sudah niat mau masuk UGM karena Yogyakarta terkenal dengan pendidikannya. Dulu saja sekolah SMP saya termasuk daerah 3T. Lalu SMA saya tidak masuk daftar ranking 1000 SMA terbaik di Indonesia, paling tidak saya bisa masuk ke kampus favorit,” katanya.
Sang kakek, Made Yarnita (69) nampak sumringah melihat sang cucu melanjutkan kuliah di kampus UGM. Meski ia tak tahu banyak soal pendidikan. Namun Yarnita ingat persis bagaimana tahun 1983 ia mengajak istri dan anaknya baru satu, Kadek umur 3 tahun, berangkat naik kapal dari Buleleng, Bali, merantau ke Mamuju sebagai transmigran bersama ratusan kepala keluarga lainnya.
Mendaftar sebagai transmigran, menjadi satu-satunya pilihan bagi Yarnita untuk mengubah masa depan keluarganya. Di Buleleng, kenangnya, ia tidak punya tanah untuk digarap dan sehari-hari bekerja sebagai buruh tukang kayu.
Sesampainya di Tommo, Yarnita hanya diberi rumah papan seluas 5 x 7 meter. Jalan masih berupa tanah liat, belum ada listrik dan di sekitar pekarangan masih dikelilingi hutan dan rawa. Berangsur-angsur warga transmigran menebang pohon, lalu mengolah lahan untuk menanam padi dan sesekali menjadi tenaga serabutan di desa lain.
Kini, bekas papan rumah tersebut masih tersimpan rapi di depan rumah anaknya. Yarnita sengaja tidak ingin menjualnya, sebagai kenangan bahwa rumah itulah tanda perjuangannya untuk mengubah nasib supaya para anak dan cucunya tahu bagaimana awal kehidupan para transmigran di masa lalu.
Penulis: Gusti Grehenson