Ni Putu Dinda Regina (18), tak henti-henti menyeka air matanya. Ia begitu bersyukur bisa diterima kuliah di kampus Universitas Gadjah Mada. Pasalnya, ia sudah berencana untuk melamar kerja di toko karena melihat kondisi ekonomi keluarga yang mengandalkan dari upah pengrajin anyaman sokasi sulit untuk membiayai kuliahnya kelak. Beruntung, guru bimbingan konseling di sekolahnya menyarankan untuk mendaftar kuliah sambil mencari peluang beasiswa di kemudian hari. Saran itu pun diambil oleh Regina.
Keluarga Regina tinggal di daerah perbukitan di desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. Daerah ini dikenal sulit air. Setiap harinya, setiap keluarga di desa ini harus mengambil air yang berjarak kurang lebih 5 kilometer. Bahkan untuk keperluan mandi cuci kakus saja, keluarga Regina masih menggunakan kamar mandi sederhana yang berada di luar rumah. Kamar mandi itu hanya mengandalkan dinding dari atap asbes bekas, lantainya dari bata bekas yang disusun seadanya. Lalu sisa pecahan genteng disulap jadi lubang kloset.
Kehidupan yang sulit tidak menyurutkan langkah Regina yang sejak kecil sudah bercita-cita untuk menjadi penjaga keadilan hukum di masyarakat. Beruntung, ia diterima di Fakultas Hukum UGM dengan beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen.
Saat ditemui di rumahnya yang masih berdinding batako dengan isi rumah yang sangat sederhana. Ruang tamu berukuran kecil yang dibuat memanjang digunakan untuk menyimpan tumpukan sokasi yang sudah hampir selesai dianyam. Persis sebelah pintu masuk, terdapat meja kecil yang sehari-hari digunakan Regina untuk belajar.
Regina mengaku masih merasakan seperti mimpi melihat kenyataan dirinya diterima kuliah di Fakultas Hukum UGM. Tidak terbayangkan oleh dirinya sebelumnya, seorang anak gadis desa tinggal di pedalaman perbukitan bisa diterima kuliah di salah satu universitas bergengsi di Indonesia. Saking tidak percaya dirinya, ia sempat menyembunyikan informasi terkait pendaftaran kuliahnya di UGM pada teman-teman di sekolahnya. “Saya nggak kepikiran akan kuliah, maunya bakalan kerja dulu nanti baru mikirin kuliah,” kenangnya.
Regina masih ingat, saat ia menyampaikan maksudnya untuk mendaftar kuliah ke ibunya, Ni Kadek Nely Supriyati (43), dengan meyakinkan bahwa ibunya tidak usah khawatir soal biaya karena ia juga mendaftar beasiswa.
“Nanti pas nggak dapat beasiswa, gimana?”
“Tapi saya mau coba dulu, Bu.”
Sang ibunda tidak pernah melarang keinginan sang anak. Meski dari pekerjaan ia dan suami sebagai pengrajin bambu, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan cukup membeli bensin motor untuk keperluan Regina ke sekolah di SMAN 1 Singaraja yang jaraknya 17 kilometer dari rumahnya.
“Setiap tiga hari sekali dikasih uang 50 ribu untuk ganti bensin boncengan dengan teman ke sekolah,” katanya.
Di sekolah, Regina dikenal dengan anak yang cukup cerdas. Selain sering juara kelas, nilai mata pelajaran IPS seperti Geografi dan Ekonomi, ia selalu mendapat nilai 9. “Selama tiga tahun sering juara 2 dan pernah juara 4 pas di awal, tapi nilai selalu naik terus,” ujarnya.
Untuk mendukung belajar di sekolah, Regina mengandalkan buku-buku LKS yang ia beli di sekolah. Sedangkan untuk buku cetak sudah didapatkan dari sekolah secara gratis. Sedangkan untuk waktu belajarnya, Regina mengaku menyempatkan waktu sekitar 1-2 jam menjelang tidur. “Sore hari setelah pulang sekolah, saya membantu ibu buat anyaman. Sekitar jam 8 malam saya mulai belajar dan buka buku,” katanya.
Kehidupan keluarga yang penuh kesederhanaan ini, Regina tahu diri untuk tidak menuntut banyak ke kedua orang tuanya. Apalagi sang Ayah, I Gede Suastra Jaya (44) beberapa tahun lalu pernah terkena serangan stroke ringan. Praktis pekerjaan yang dilakoninya sekarang ini membantu sang istri membuat anyaman dan berjualan bensin eceran di depan rumahnya.
Tepat di hari pengumuman kelulusan tiba, Regina masih ingat persis saat pulang sekolah, dia tidak begitu antusias untuk membuka layar ponselnya karena ia merasa tidak akan lolos. Kalau pun lolos, ia hanya diterima di salah perguruan tinggi negeri di Bali. “Saya nggak yakin bakalan diterima, jadi nggak bilang ke teman-teman, kebetulan waktu itu link web sempat error,” kenangnya.
Selang beberapa jam kemudian, Regina mencoba membuka situs pengumuman SNBP. Dia tidak menyangka namanya terdaftar diterima kuliah di prodi Ilmu Hukum UGM.
“Saya lolos, Pak” kata regina pada Ayahnya.
Lolos di Bali?
“Nggak, di Jogja”
Kedua orang tua regina senang bukan kepalang, anaknya sulungnya diterima kuliah di PTN.
“Bagaimana dengan biayanya, Nak?”
“Tinggal menunggu pengumuman (beasiswa)”
Menurut Regina, saat itu ayah dan ibunya tampak senang namun juga tidak bisa menyembunyikan raut sedih di wajah mereka memikirkan soal biaya Regina ketika kuliah kelak.
Namun saat registrasi dan pengumpulan dokumen, sang ibunda, Nely Supriyati tidak menyembunyikan kebahagiaannya setelah mengetahui anaknya mendapat beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen dari kampus UGM.”Saya bersyukur sekali ia bisa kuliah di UGM, apalagi bisa dapat beasiswa,” katanya dengan air mata berurai.
Menurutnya, beasiswa UKT sangat membantu beban ekonomi keluarganya. Nely mengaku, dari penghasilan dirinya dan suami sebagai pengrajin sokasi hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Setiap harinya, keduanya dapat menyelesaikan 3-4 anyaman sokasi. Untuk satu sokasi ia jual ke pengepul seharga 20 ribu rupiah. Dari satu anyaman sokasi ini, ia mendapatkan keuntungan bersih sekitar 15 ribu rupiah dipotong dari biaya pembelian bahan baku. “Dalam sebulan, kalau saya dapat 500 ribu, kalo bapak dapat satu jutaan. Sekitar 1,5 juta rupiah berdua,” katanya.
Sebagai orang desa yang tinggal di pedalaman perbukitan, Nely mengaku tidak tahu banyak soal kampus UGM. Yang ia tahu dari televisi atau obrolan dari tetangganya yang menyampaikan bahwa ia menjadi orang tua yang beruntung karena anaknya diterima di kampus pilihan. “Katanya dapat sekolah di UGM itu tidak mudah, orang pilihan katanya,” ujarnya.
Sebagai orang tua, Nely tidak berharap banyak pada anak perempuannya. Apalagi ia dan suami tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, keduanya hanya sampai lulus SMP. Kini, hanya doa yang ia bisa panjatkan agar Regina bisa meraih mimpi dan cita-cita yang diinginkannya. “Kita tidak bisa beri bekal apa-apa. Semoga ia bisa sukses menuntut ilmu di sana. Semoga apa yang diinginkannya sesuai harapannya,” jelasnya.
Penulis: Gusti Grehenson