Di bawah pondok terpal biru yang ditopang dengan satu bambu sudah cukup melindungi dari panasnya terik matahari di halaman kosong di Desa Tambaksari, Poto Tano, Sumbawa barat, Nusa Tenggara Barat. Di bawah terpal itu para ibu-ibu tengah mengupas jagung sehabis panen. Nampak jagung dengan bonggolnya dijemur di atas tikar depan pondok terpal tersebut.
Kiswanto (53 tahun) tengah meratakan jemuran jagung dengan sorok. Sementara istrinya Hadiatullah (50) tengah mengupas jagung yang dibantu oleh anak bungsunya Putri Atmawan Pujaningsih (18). Ada juga 4 orang ibu-ibu yang merupakan tetangga dekat rumahnya tengah membantu mengupas jagung hasil panen dari keluarga Kiswanto dari lahan HGU milik perusahaan seluas kurang dari satu hektare. “Tahun ini panennya agak kurang,” kata Hadia seraya menyampaikan panen jagung rata-rata hanya satu kali setahun.
Menurut ibu dari tiga anak ini, jika cuaca bagus dan musim hujan mendukung, ia bisa turun tanam hingga dua kali satahun. Rata-rata untuk sekali panen, ia mendapat sekitar 5-6 ton per hektar dengan mengantongi uang sekitar Rp 10 -12 juta rupiah.
“Uang hasil panen tergantung harga, bisa bawa pulang Rp12 juta dibagi buat bayar buruh, bayar hutang karena kita sudah ambil duluan utang, beli bibit dan pupuk,” katanya.
Dikarenakan musim tanam jagung tidak menentu, selain mengurusi kebun jagung, kata Hadia, ia bersama sang suami menggembala kambing milik tetangga. “Dulu pelihara dua, lima tahun jadi lima ekor. Sekarang sudah puluhan ekor. Bagi dua dengan pemilik. Jika ada kebutuhan mendesak, kita izin menjualkan ke pemiliknya,” jelasnya.
Tidak jarang ia meminta sang anak, Putri, untuk menjaga kambing sepulang dari sekolah sebelum Ayahnya pulang kerja sebagai pegawai tidak tetap pendamping penyuluh pertanian. “Kadang saya suruh nunggu di bawah pohon asam sambil belajar,” kenangnya.
Penghasilan dari bertani jagung menurut Hadia memang tidak menentu, namun ia tetap bersyukur apalagi ada tambahan gaji honor dari suaminya sebagai pegawai tidak tetap di kantor dinas pertanian Sumbawa Barat.
Kiswanto bercerita ia sudah menjadi tenaga pegawai tidak tetap sejak tahun 2008 setelah tidak lagi menjadi karyawan di perusahaan tambak udang di dekat pelabuhan Poto Tano. Di awal bekerja, honor yang ia terima sebesar Rp400 ribu, lalu naik 700 ribu tiga tahun kemudian. Selanjutnya empat tahun setelahnya, naik sekitar satu jutaan. “Kalau dibilang cukup atau tidak cukup, manusia itu merasa tidak pernah cukup. Tapi jika bicara sisi agama kita harus pandai mensyukurinya saja,” ungkapnya.
Meski kondisi ekonomi pas-pasan, Kiswanto dan Hadia menuturkan selalu memotivasi ketiga putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Meski mereka sempat khawatir saat Putri berniat untuk mendaftar kuliah di Universitas Gadjah Mada lewat jalur prestasi Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). “Sempat sedikit ragu takut nggak lolos beasiswa (KIP), takutnya Bapak nggak bisa biayain karena ada kakak saya yang masih kuliah. Bapak pesan kalau tidak lolos di negeri (PTN) tidak bisa lanjut kuliah dulu. Saya tetap berani daftar lewat jalur SNBP. Saya rajin salat dan berdoa agar bisa lolos,” kata Putri.
Putri mengaku ia mafhum dengan kondisi keluarganya. Ia tidak pernah meminta banyak akan keinginan dan keperluannya selama menginjak bangku sekolah. Setiap pagi ia diantar oleh ayahnya ke sekolah SMAN 1 Poto Tano. Ia banyak mengikuti kegiatan di sekolah mulai dari kegiatan OSIS, Pramuka dan Pasukan Baris Berbaris. Dalam kegiatan akademik, Putri selalu mendapat langganan juara satu di kelas. “Selama di SMA selalu juara satu. Kalau ada PR saya serahkan paling duluan,” katanya.
Sepulang sekolah Putri mengaku sering banyak belajar di Kamar, bahkan saat diminta ibunya untuk menggembala kambing yang dilepas di sekitar, ia tidak segan-segan membawa buku atau belajar menggunakan internet di ponselnya.
Menurut Putri, menjadi pengembala kambing atau sapi sudah menjadi kegiatan tambahan bagi penduduk Tambaksari yang hanya mengandalkan pertanian tadah hujan. “Jika tidak bertani ya gembala sapi dan gembala kambing di sini,” paparnya.
Kuliah di kampus UGM sudah menjadi impian Putri sejak dari bangku SMP. Ia pun selalu giat belajar dan berprestasi di kelas agar bisa mewujudkan impiannya tersebut. Beruntung bagi Putri, ia diterima di prodi Hygiene Gigi Fakultas Kedokteran Gigi. “Sejak dulu sudah pengin kuliah di UGM. Kampus terfavorit dan peminatnya banyak. Siapa juga yang tidak mau kuliah di kampus terbaik di Indonesia,” katanya.
Putri memiliki harapan setelah selesai kuliah dirinya berkeinginan untuk mengabdikan diri di tanah kelahiran menjadi tenaga medis perawatan gigi.”Mau kerja di rumah sakit. Mengabdi di daerah sendiri nantinya,” katanya.
Putri merupakan salah satu mahasiswa baru UGM yang diterima lolos bisa diterima kuliah gratis dari UGM dengan Uang Kuliah Tunggal ( UKT) Pendidikan Unggul bersubsidi 100% (UKT 0). Hal ini tentu disyukuri oleh Putri karena bisa membantu beban ekonomi keluarganya. Masih terbayang di benaknya, saat menanti kabar kepastian lolos masuk UGM lewat ponselnya saat berdiam diri di kamar seraya menangis haru sampai-sampai sang ibu datang bertanya. “Kenapa nangis? Lolos Bu. Lalu ibu ikut nangis juga. Tidak lama, Bapak pulang sehabis gembala kambing. Bapak aku lolos masuk UGM. Saya peluk Bapak di teras rumah, Alhamdulillah Nak kamu bisa lolos,” kenang Putri.
Penulis dan Foto : Gusti Grehenson