Menjadi petani penggarap di tanah kas desa menjadi satu-satunya penghasilan Supriyono (54), dan istrinya Indah Winarti (52) untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mengandalkan penghasilan kurang dari satu juta rupiah perbulan dari hasil budidaya bertanam cabai yang letaknya tidak jauh dari rumahnya di Dusun Ngisis, Desa Piyaman, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Supriyono menderita penyakit batu ginjal dan telah melakukan operasi sebanyak 7 kali sejak tahun 2016 lalu. Kondisi ekonomi yang pas-pasan dan tubuh yang sudah tak lagi prima itu membuatnya merasa tak mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk kehidupan anaknya. Ia pun hanya mampu pasrah.
“Jujur, nangis saya. Sebagai orang tua, saat anak punya kemauan, kita gak bisa ngasih. Jadi beban. Harus gimana saya ini, sedang saya pengen anak-anak saya itu hidupnya lebih dari saya,” ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Di tengah kesulitan ekonomi yang membebani keluarganya, ada secercah harapan bagi Supriyono saat anak bungsunya, Agil Priyojatmiko (18) diterima kuliah di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dengan beasiswa UKT pendidikan Unggul Bersubsidi sebesar 100 persen dari UGM, membuatnya langsung bersujud syukur. Ia berharap anak bungsunya kelak bisa mengangkat derajat ekonomi keluarga. “Saya sempat bersujud syukur saat Agil diterima dan dapat beasiswa UKT 100 persen. Saya bersyukur sekali,” katanya.
Apa yang didapat oleh Agil saat ini menurutnya merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi selama ini Agil selalu disiplin dalam belajar dan taat beribadah.
Selama bersekolah di SMAN 1 Wonosari, Agil selalu menunjukkan prestasi di kelas. Bahkan ia sering berprestasi dalam berbagai kegiatan perlombaan. Agil pernah mengikuti Lomba Debat Bahasa Indonesia hingga mendapat predikat best speaker ke-3 se-Gunung Kidul, juara 1 bidang MTQ setingkat kabupaten Gunungkidul, dan lomba juara 1 Pleton Inti (Tonti) juara 1 tingkat kabupaten Gunungkidul.
Dalam isak tangisnya, Agil menceritakan bahwa ia menyadari bahwa keputusannya untuk kuliah dengan kondisi keterbatasan ekonomi merupakan sesuatu hal yang berat baginya. Namun berkat dorongan dari guru di sekolahnya, ia memantapkan hati untuk mendaftar kuliah di UGM, dengan harapan suatu saat kelak ia dapat meringankan beban kedua orang tuanya. “Saya paham kalau orang tua belum mampu untuk menguliahkan saya, dua orang kakak saya juga tidak sempat kuliah. Saya selalu ingat pesan guru saya, ‘biaya itu bisa dicari’,” kenangnya.
Terakhir, Supriyono berpesan bahwa dalam berkuliah di UGM kelak, Agil dimintanya tetap memegang teguh kejujurannya, belajar yang tekun, dan jangan pernah meninggalkan ibadah. “Kalau Agil belajarnya semangat, Bapak juga tentrem,” pungkasnya.
Penulis: Leony