
Lebih dari 100 hari Kabinet Indonesia Maju yang dinahkodai Presiden Prabowo-Gibran berjalan, berbagai kebijakan menuai pro-kontra pada berbagai lapisan. Bahkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) 1 tahun 2025, pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang berdampak signifikan pada berbagai sektor, termasuk di bidang pendidikan tinggi dan riset. Salah satu yang menjadi perhatian adalah pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI, sebesar Rp14,3 triliun dari pagu anggaran yang mencapai Rp56,6 triliun.
Menanggapi hal ini, Agustina Kustulasari, S.Pd., M.A., dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM dengan kepakaran dalam kebijakan pendidikan tinggi menyampaikan pandangannya terkait implikasi pemotongan anggaran terhadap sektor pendidikan tinggi dan riset. Menurutnya, pemangkasan anggaran ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana efisiensi tersebut diterapkan. “Kata ‘efisiensi’ sendiri sebenarnya berarti mengurangi yang boros. Namun, pertanyaannya, bagian mana yang dianggap boros? Jika kita langsung memangkas dalam jumlah besar, apakah benar praktik selama ini seboros itu?” telisiknya, Minggu (16/2).
Ia juga menekankan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan efektivitas. Dalam pandangannya, efisiensi hanya akan bermakna jika selaras dengan efektivitas. Artinya, tujuan utama yang ingin dicapai tetap harus terpenuhi, tetapi dengan cara yang lebih efisien. “Jika efisiensi justru mengurangi daya dukung terhadap riset dan inovasi, maka kebijakan ini perlu dikaji ulang,” jelasnya.
Dalam konteks riset di perguruan tinggi, Agustina menyoroti bahwa pemotongan anggaran dapat berdampak luas, baik bagi dosen maupun mahasiswa. Sebab, Universitas sering kali merancang program berdasarkan anggaran tahun sebelumnya. Jika ada perubahan mendadak seperti sekarang, tentu akan mengganggu dinamika kerja, perencanaan program, dan bahkan bisa menghambat penelitian yang sudah berjalan. Padahal riset dan inovasi menjadi bagian penting dalam peningkatan kemampuan daya saing bangsa.
Adanya pemangkasan anggaran ini, Agustina menyebut bahwa perguruan tinggi harus semakin kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif, termasuk kerja sama dengan industri dan lembaga internasional. Namun, ia juga mengingatkan bahwa langkah ini bukan hal yang baru dan sudah lama dilakukan. “Pertanyaannya sekarang adalah, apa lagi yang bisa kita lakukan? Jika anggaran riset sudah terbatas sejak awal, lalu masih dipangkas lagi, tentu ini menjadi tantangan besar bagi peneliti dan institusi akademik. Kita harus terus kreatif, tetapi pada saat yang sama negara juga perlu terus berperan,” ujarnya.
Ia juga turut menekankan pentingnya mempertimbangkan kembali dampak jangka panjang dari kebijakan efisiensi ini. Pemangkasan anggaran harus dilakukan dengan cermat dan tidak boleh menghambat pencapaian tujuan utama pendidikan dan riset. “Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi ini benar-benar untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan bukan pemangkasan untuk kepentingan politik,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik