Tingginya angka kekerasan pada anak di sekolah semakin mengkhawatirkan. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, terdapat 251 anak usia 6-12 tahun yang menjadi korban kekerasan di sekolah pada tahun 2023. Setiap jenjang pendidikan tentunya memunculkan angka kekerasan yang berbeda-beda. Hal ini melatarbelakangi pembentukan Program Sekolah Ramah Anak (SRA) sejak tahun 2015.
Asisten Deputi KemenPPA RI, Elvi Hendrani, menyebutkan urgensi penerapan SRA cukup tinggi jika melihat perkembangan perilaku dan lingkungan sosial anak sekolah. Anak-anak menghabiskan waktunya 8-10 jam per hari di sekolah, karenanya potensi anak alami kekerasan selama di sekolah menjadi tinggi. Selain kekerasan, ancaman seperti penyebaran NAPZA, rokok, dan radikalisme sudah merambah sejak tingkat sekolah dasar. Adanya ancaman tersebut diperparah dengan kurangnya dukungan orang tua dan guru dalam upaya preventif.
“Pengedar NAPZA ini sudah mulai bergerak waktu anak di sekolah dasar. Rawan menjadi pecandu rokok. Perokok pemula di Indonesia itu rata-rata anak SD. SMP-SMA sudah banyak yang mencandu rokok, jadi ini sangat berbahaya. Ada persoalan lain, yaitu kebijakan sekolah yang berbasis hukuman. Pemutusan mata rantai kekerasan di sekolah tidak selesai, sehingga anak melakukan kekerasan. Karena terbiasa, setiap anak melakukan kekerasan itu diberi hukuman,” ucap Elvi dalam Seminar SDGs Fakultas Geografi UGM bertajuk “Implementasi Sekolah Ramah Anak Pada Jenjang Sekolah Menengah Pertama” pada Selasa (31/10).
Penerapan konsep SRA menekankan pada kemampuan satuan pendidikan untuk memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak-anak, termasuk mekanisme pengaduan. Terdapat empat konsep SRA yang juga merupakan tantangan terbesar. Pertama, mengubah paradigma dari pengajar menjadi pembimbing. Kedua, orang dewasa memberikan teladan di satuan pendidikan. Ketiga, memastikan orang dewasa terlibat penuh dalam melindungi anak. Dan empat, memastikan orang tua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi komponen SRA.
“Tiga pilar Sekolah Ramah Anak ini adalah anak senang, guru tenang, orang tua bahagia. Jadi seluruh aspek di sini, khususnya tiga aspek ini berperan aktif dalam melindungi anak dari kekerasan. Tidak hanya instansinya, tapi orang tua juga turut mendukung. Guru perannya juga tidak sebagai pemberi materi, tapi menjadi teladan dan pembimbing perilaku anak,” tambah Elvi.
Tidak hanya di jenjang sekolah dasar dan menengah, perguruan tinggi juga mendapat sorotan terkait banyaknya kasus kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. “UGM baru saja awal tahun lalu me-launching empat modul kekerasan. Modul pertama adalah kekerasan fisik. Kedua kekerasan psikologi. Ketiga ini kekerasan sosial, termasuk kekerasan seksual. Dan yang keempat itu kekerasan ideologis. Ini semua untuk mendukung adanya tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs,” ungkap Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. Dr. Wening Udasmoro, SS, M.Hum., DEA. Pendekatan realisasi tujuan pembangunan berkelanjutan ini harus dilakukan secara top down dan bottom reach. Artinya, pemerintah yang berperan sebagai penyusun kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya upaya implementatif dari masyarakat dan instansi pendidikan itu sendiri.
UGM sendiri mengecam adanya tindakan kekerasan di institusi pendidikan, baik verbal maupun non verbal. Peraturan pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual telah dikeluarkan UGM sejak tahun 2021. Komitmen ini juga diwujudkan melalui unit-unit konseling dan pelaporan yang disediakan bagi seluruh civitas akademika apabila terjadi kekerasan di lingkungan belajar. Bersama dengan komitmen tersebut, UGM juga mendukung penguatan anti kekerasan pada sekolah dasar dan menengah. Melalui langkah ini, satuan pendidikan diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan.
Penulis: Tasya