![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-12-at-15.48.26-e1739518353763-825x466.jpeg)
Antropolog UGM, Prof. Dr. Etty Indriati meluncurkan buku “Vitalitas Tenun Gringsing Bali: Keindahan dalam Keseimbangan di Tenganan Pegringsingan”, Rabu (12/2) lalu di Auditorium Lantai 5, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Pada acara peluncuran dan Bedah Buku Wastra dan Wicara Tenun Gringsing dipamerkan sejumlah koleksi tenun gringsing yang bisa dinikmati keindahannya oleh para peserta dan pengunjung yang hadir.
Etty bercerita awal mulanya ia menulis buku soal tenun gringsing bermula dari a pameran batik yang diadakan pada tahun 2017 di Amerika Serikat. “Tahun 2017 itu, saya diundang untuk mengidentifikasi batik di The Art Institute of Chicago,” jelasnya.
Pada saat itu, ia diminta untuk membedakan macam-macam jenis batik dan asalnya seperti Batik Solo, Batik Cirebon, Batik Yogyakarta, dan juga sebagainya. Hingga koleksinya pun ditampilkan di sana. Berawal dari pameran yang berlangsung 5 bulan tersebut, dari sini lah rasa ingin tahunya terpantik, hingga membawanya untuk mulai meneliti kain ini hingga ke tempat asalnya, Bali.
Ia pun menjelaskan bahwa di lokasi asalnya, masyarakat setempat menggunakan Kain Gringsing Bali sebagai material agama yang digunakan untuk mengekspresikan kepercayaan dan dan membangun pengalaman religius mereka. Hal ini dapat dilihat dari penggunaannya yang sangat dekat dengan ritual-ritual setempat. “Jadi kesimpulan saya pergi ke Bali ini, gringsing adalah materi budaya yang dipakai untuk mengekspresikan ekspresi religius,” jelasnya.
Seperti digunakan sebagai kemben, persembahan, ayunan yang melambangkan konsep keseimbangan, juga bagaimana tenun gringsing ini diberikan saat pertama kali seorang anak memotong rambutnya, serta digunakan untuk menyaksikan Ritual Perang Pandan.
Ia pun menjelaskan beberapa arti dari motif tenun gringsing yang ditampilkan, salah satunya adalah motif Wayang Kebo yang dianggap motif paling sakral dan dipakai untuk penari Rejang di Tenganan, Pegringsingan. Ia pun menjelaskan bagaimana dari desain-desain tersebut tenun gringsing ini berkonsep simetris, atau di dalam matematika disebut isometris.
Dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar, tenun gringsing ini pun menceritakan bagaimana masyarakat sekitar yang masih begitu menjaga hutan adatnya. Dari pengamatannya pula, meskipun adanya perkembangan teknologi, ritual-ritual budaya dan agama di masyarakat tetap terus berjalan. “Ketika kita menjaga hutan di situ ada green economy, ada ecological sustainable, tidak hancur hilang kemudian jadi orang miskin. Tanah inilah yang harus dijaga,” paparnya.
Lebih lanjut, Etty menjelaskan bagaimana proses pembuatan kain gringsing yang memakan waktu bertahun-tahun ini. Dimulai saat remaja putri yang belum menikah akan belajar membuat tenun gringsing, mereka akan ditempatkan pada sebuah asrama yang tidurnya harus dari jerami, dan terus berlanjut sampai si gadis memiliki pujaan hati.
Keunikan lainnya dari pembuatan gringsing ini adalah pembuatannya yang juga harus urut dan benar menurut ritual tahunan, sama seperti ibadah-ibadah yang urutannya harus berurutan dan tidak boleh di lompat-lompat. “Yang buat saya kagum adalah ritualnya harus urut terus berlanjut sampai si gadis ini punya kepekan,” ujarnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., mengapresiasi peluncuran buku karya Prof. Etty. Menurut Ova, buku ini menjadi media yang sangat baik untuk menyerukan budaya dan tradisi sebagai identitas bangsa, yang juga sesuai dengan jati diri Universitas Gadjah Mada sebagai pusat kebudayaan yang tentunya terus mendukung upaya para akademisi dalam melakukan pelestarian budaya. “Dari buku ini Prof. Etty mencoba menggambarkan bagaimana tenun gringsing menjadi representasi bagaimana keselarasan hidup dan cerminan identitas budaya masyarakat khususnya Masyarakat Bali,” ujarnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie