“Aku merasa ini kesempatan terakhirku, jadi aku putusin buat segera daftar”
Muhammad Najib (24) masih mengingat alasan dirinya memutuskan untuk mendaftar program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) tahun 2023 lalu. Menuntut ilmu di luar negeri telah menjadi impian Najib semenjak lulus SMK. Saat itu, Najib mengikuti rangkaian seleksi beasiswa Global Korean Scholarship (GKS) yang diselenggarakan oleh National Institute For International Education (NIIED) Korea Selatan. Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya. Najib harus mundur usai seleksi wawancara dan melanjutkan studi di Indonesia.
Di tahun keduanya sebagai mahasiswa Teknologi Rekayasa Instrumentasi dan Kontrol, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Najib masih berpegang pada impiannya untuk berkuliah di luar negeri. Berbekal portofolio dan pengalaman yang telah ia kumpulkan selama berkuliah di UGM, Najib memutuskan untuk mengikuti seleksi program IISMA, salah satu beasiswa studi luar negeri yang ditawarkan oleh Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sesuai dengan program studi yang ditempuhnya, Najib memilih Deggendorf Institute of Technology, Jerman sebagai kampus tujuannya.
Najib adalah salah satu dari banyaknya pelajar Indonesia yang berambisi untuk menuntut ilmu di luar negeri. Tak heran, banyak universitas terkemuka di dunia berada di negara maju. Dengan semangat membawa perubahan untuk Indonesia, para pelajar bersemangat untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya di luar negeri, lalu kembali untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh di Indonesia. Namun, untuk dapat berkuliah di luar negeri, tentu saja mahasiswa harus menggocek biaya yang lumayan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui program MBKM telah membentuk program unggulan untuk memfasilitasi mahasiswa Indonesia menggapai mimpi berkuliah di luar negeri tanpa halangan biaya.
Indonesian International Student Mobility Award (IISMA) adalah program pertukaran mahasiswa Indonesia di universitas ternama dunia selama satu semester. IISMA merupakan salah satu dari tujuh program flagship MBKM yang dicanangkan oleh Menteri Dikbud Ristek, Nadiem Makarim. Universitas sasaran IISMA tersebar di seluruh dunia, termasuk Singapura, Prancis, Australia, dan Amerika Serikat. Program IISMA mendanai kegiatan pertukaran mahasiswa mulai dari persiapan, transportasi, tempat tinggal, hingga uang saku setiap bulannya.
Hingga tahun 2023, jumlah penerima beasiswa IISMA mencapai 6.522 mahasiswa, baik dari jenjang sarjana maupun diploma. IISMA menyediakan lima skema, yaitu reguler, afirmasi (mahasiswa pemegang KIP-K dan berasal dari daerah 3T), co-funding, vokasi (IISMAVO), dan entrepreneurship (IISMA-E). Lima skema tersebut dibuat agar seluruh lapisan mahasiswa dapat mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di luar negeri.
Membangun Jembatan Ilmu di Benua Lain
Menimba ilmu di tempat baru yang jauh nan asing tidak sekadar tentang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan kurikulum dan kultur pembelajaran yang ada di negara tujuan. Tak hanya itu, mahasiswa juga mempelajari bidang keilmuan lain di luar disiplin ilmu yang telah mereka pelajari di kampus asalnya.
Sebagai mahasiswa Teknologi Rekayasa dan Instrumentasi, Najib selalu tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu komputasi (computer science), terutama di kecerdasan buatan (artificial intelligence; AI) dan machine learning. Sayangnya, disiplin ilmu tersebut kurang dieksplor di jurusan Najib ketika di Indonesia. Oleh karena itu, ia memanfaatkan kesempatan belajarnya di Jerman untuk mempelajari ilmu komputasi.
Mempelajari hal baru di negara asing tentu saja tidak ditempuh di jalan yang mulus. “Mungkin bukan basic-ku, pas pertama kali belajar itu di Jerman,i aku agak susah mengikuti,” aku Najib.
Selain itu, Najib harus beradaptasi dengan sistem akademik di Jerman yang berbeda dengan sistem akademik di Indonesia. Di Jerman, penilaian tiap mata kuliah hanya dilakukan di akhir semester. Hal ini dapat menjadi hal yang menguntungkan mengingat kehadiran mahasiswa tidak termasuk dalam aspek penilaian. Namun, selain urusan akademik, Najib sebagai student representative (SR) IISMA di Jerman harus menjalani berbagai acara di luar kegiatan akademik. Untungnya, ia masih dapat menjalaninya dengan baik. “Alhamdulillah, (nilainya) aman, lah!” ujar Najib.
Pengalaman serupa juga dijalani oleh Rachel Adeline Wiguna, mahasiswa Psikologi UGM angkatan 2021 yang mendapatkan beasiswa IISMA tahun 2023 di University of Adelaide, Australia.
Rachel mengaku bahwa sistem pembelajaran di Australia memiliki perbedaan yang signifikan dengan sistem pembelajaran di Indonesia. Di sana, satu mata kuliah memiliki tiga jenis kelas, yaitu lecture (perkuliahan), workshop (lokakarya), dan tutorial. Ketiga kelas itu memiliki mekanisme pelaksanaan yang berbeda. Workshop dan tutorial memiliki jumlah mahasiswa yang lebih sedikit daripada kuliah umum, yaitu maksimal 20 orang dalam satu kelas.
Sistem akademik yang fleksibel memungkinkan mahasiswa mengambil jadwal yang berbeda setiap minggunya. “Hari Selasa ada kuliah dan bisa jadi Hari Kamis ada kuliah lagi. Mengulang materi di hari Selasa untuk mengakomodasi semua mahasiswa, agar semuanya kebagian materi,” ujar Rachel.
Dosen juga mengambil peran yang besar dalam proses pembelajaran setiap mahasiswa. Keterbukaan dosen dengan sesi diskusi personal dan kemudahan untuk mengontak dosen menjadi salah satu keuntungan kuliah di Australia. “Kalau ada yang bingung, aku sempat tanya dosen dan (beliau) mau membantu,” aku Rachel.
Perbedaan kultur akademik juga dirasakan dalam konteks hubungan sosial, utamanya pertemanan antarmahasiswa. Sebagai mahasiswa pertukaran, Najib dan Rachel tentunya ingin memanfaatkan kesempatan untuk memperluas jejaring (networking) dengan mahasiswa di kampus setempat. Cara bersosialisasi di Indonesia tidak dapat serta merta diterapkan ketika berinteraksi dengan mahasiswa di luar negeri.
Budaya basa-basi atau beating the bush dengan orang asing nyatanya kurang cocok dilakukan di Australia. Rachel mengakui bahwa kebiasaan ngobrol sepulang kuliah bukan merupakan hal yang lumrah dilakukan di Adelaide. Di sana, para mahasiswa langsung kembali ke asrama atau pergi ke tempat tujuan selanjutnya tanpa sempat mengobrol dengan sesama teman. “Itu nggak kualami di kelas aja, tetapi waktu aku bergabung dengan klub orkestra di sana, ketika selesai latihan, (mereka) pulang gitu,” tutur Rachel.
Bagi Rachel, menambah teman mahasiswa lokal membutuhkan usaha lebih. Namun, ia tidak lantas mengartikan itu sebagai mahasiswa pertukaran tidak bisa bergaul dengan mahasiswa lokal. “Mungkin memang culture-nya mereka lebih sat-set, ya. Memang (diskusi) seperlunya aja, gitu,” ucap Rachel.
Pengalaman berbeda dirasakan oleh Najib semasa menjalani studi di Jerman. Najib yang mengaku memiliki kepribadian yang kikuk merasa belum memanfaatkan pengalaman bertemu dengan mahasiswa internasional dengan baik. Menurutnya, ia masih bisa menambah jejaring yang lebih luas dengan berteman dengan mahasiswa lain. Meskipun demikian, Najib tetap mendapatkan teman sebaya yang sefrekuensi dengannya. “Kalau soal pengalaman pertemanan di sana, culture-nya aku suka, sih,” kenang Najib.
Di sana, Najib memanfaatkan waktunya untuk bergabung di perhimpunan mahasiswa internasional yang dijuluki dengan Erasmus Student Network (ESN) Deggendorf. Melalui organisasi tersebut, ia mendapatkan kolega sesama mahasiswa internasional dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan di sana. Najib juga mengikuti program Host Family dan mendapatkan orang tua angkat selama berkuliah di Jerman.
Memandang Dunia Lewat IISMA
Tak terasa sudah satu tahun terlewati dari kali pertama Najib menginjakkan kakinya di Deggendorf, sebuah kota di tepian Jerman yang jauh dari riuhnya ibukota. Baginya, Jerman terlalu berkesan sehingga membuatnya ingin kembali ke sana untuk menempuh studi magister (S-2). Sebagai mahasiswa yang terdaftar di program beasiswa Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K), mengikuti IISMA menjadi salah satu pengalaman yang mengubah hidupnya. “Aku yakin aku bisa mengelola uang dengan baik. Kondisi finansialku semakin membaik,” ujar Najib.
Perjalanannya di Deggendorf membuat Najib sadar bahwa ia hanyalah satu fragmen kecil di dunia yang sebesar ini. Selama menempuh studi di Jerman, Najib bertemu dengan orang Indonesia hebat dan berbagi kisah inspiratif dengan mereka. Ia juga bertukar cerita dengan teman yang sudah terlebih dahulu bekerja di Jerman. “Dari situ aku ingin menjadi orang yang berarti dan membantu orang lain dengan ilmu yang aku dapat,” kata Najib.
Pengalaman internasional yang didapatkan Rachel lewat IISMA juga mengantarnya untuk bertukar pikiran dengan mahasiswa internasional lain. “Salah satu manfaat yang paling berasa itu cultural exchange, sih,” ujar Rachel. Melalui IISMA, Rachel berdiskusi dengan mahasiswa lain tentang masalah sosial yang terjadi di masing-masing negara dan mencari potensi jalan keluar lewat diskusi-diskusi di ruang kelas.
Perbedaan dinamika antara dosen dan mahasiswa juga menjadi pengalaman paling berkesan Rachel selama berkuliah di University of Adelaide. Di sana, dosen sangat menghargai usaha mahasiswa dalam menyelesaikan setiap tugas yang diberikan. Berbeda dari pengalamannya di UGM, Rachel mendapatkan umpan balik dari dosen sehingga ia dapat mengetahui sejauh mana kemampuan, kekurangan, serta hal yang dapat diperbaiki di penugasan selanjutnya.
Setiap langkah dari perjalanan Najib dan Rachel telah membentuk mereka menjadi pribadi yang tangguh dan berpikiran terbuka. Melalui IISMA, mereka berani melangkah keluar dari zona nyaman dan menemukan jati diri untuk menentukan langkah hidup selanjutnya.
Penulis : Tiefany Ruwaida Nasukha/ BPPM Balairung UGM
Editor : Gusti Grehenson