
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS strategis nasional yang selama beberapa dekade terakhir mengalami tekanan luar biasa. Kombinasi antara degradasi lingkungan dan perubahan tata guna lahan yang masif telah menjadikan Ciliwung dalam kondisi kritis, dan menyebabkan banjir besar yang terus berulang di wilayah Jabodetabek, termasuk yang terjadi pada bulan Maret lalu.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM sekaligus pemerhati sumber daya hutan Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU mengatakan krisis hidrologi di DAS Ciliwung disebabkan oleh kombinasi deforestasi di hulu, urbanisasi tak terkendali di wilayah tengah dan hilir, serta lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran tata ruang. Menurutnya, deforestasi di kawasan hulu seperti Puncak dan Cisarua telah mengurangi kapasitas daerah tangkapan air, sementara alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman, pertanian intensif, dan kawasan wisata memperburuk degradasi.
Hatma menyebutkan, tutupan hutan dan vegetasi alami yang sebelumnya berperan penting dalam meresap air tersisa hanya sekitar 9,7% dari total luas DAS. Angka ini jauh dari ambang ideal 30% yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan hidrologis. Sebaliknya, wilayah terbangun telah mencapai sekitar 72% dari seluruh kawasan DAS.“Dampak dari minimnya area resapan sangat nyata: setiap musim hujan, air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah melainkan langsung melimpas ke permukaan. Sungai Ciliwung menjadi jalur utama limpasan tersebut, menyumbang sekitar 32% dari total volume banjir di Jakarta,” katanya, Senin (21/4).
Selain banjir, kondisi lingkungan di sepanjang DAS Ciliwung juga menghadapi krisis kualitas air. Pasalnya sungai Ciliwung menanggung beban pencemaran tinggi dari limbah domestik dan sampah. Data menunjukkan beban biochemical oxygen demand (BOD) mencapai sekitar 54 ton per hari, padahal daya tampung sungai hanya sekitar 9,3 ton. “Kondisi ini menjadikan DAS Ciliwung tidak hanya kritis secara hidrologis, tetapi juga secara ekologis dan kesehatan masyarakat,” terang Hatma.
Berbagai kebijakan memang telah diterapkan, seperti normalisasi sungai, pembangunan bendungan kering, dan reforestasi. Namun, menurut Hatma, upaya-upaya ini masih bersifat parsial dan cenderung teknis. “Solusi jangka panjang harus berbasis pada pendekatan ekosistem. Rehabilitasi hutan di hulu, restorasi sempadan sungai, serta pengendalian tata ruang secara ketat adalah langkah yang wajib dilakukan,” paparnya.
Ia juga menyoroti pendekatan yang terlalu reaktif dari pemerintah daerah, terutama saat musim hujan. Apalagi setiap tahun, melalui BMKG melakukan teknologi modifikasi cuaca dengan menyemai garam ke awan untuk mengurangi hujan di Jakarta. “Saya kira ini langkah jangka pendek yang bersifat kosmetik dan tidak menyelesaikan akar masalah,” ujarnya.
Dari sisi manajemen bencana, Dr. Hatma menyatakan bahwa keempat fase penanggulangan banjir dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan yang menurutnya masih lemah. Ditambaha normalisasi sungai dan pembangunan infrastruktur belum menyentuh penyebab utama, sementara sistem peringatan dini dan respon masyarakat masih minim. “Pada akhirnya, banjir datang lagi, dan pemulihan hanya bersifat sementara,” imbuhnya.
Ia menyebut kondisi ini sebagai “siklus bencana yang stagnan.” Tahun demi tahun, lokasi yang terdampak tetap sama. Tidak ada peningkatan ketahanan, tidak ada relokasi, dan masyarakat tetap rentan. “Bencana banjir di Jakarta sudah seperti arisan datangnya rutin, tapi penanganannya selalu dadakan,” ucapnya.
Di akhir pernyataannya, Hatma mengajak seluruh pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor swasta untuk terlibat aktif dalam pengelolaan DAS Ciliwung secara kolaboratif dan berkelanjutan. “Tanpa pendekatan konservasi yang menyeluruh dan penegakan regulasi yang tegas, risiko banjir akan terus meningkat dan dampaknya terhadap masyarakat hilir akan semakin berat,” pungkasnya.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : KemenPUPR