Saat ini tengah terjadi gelombang angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan dari Januari hingga Juni silam telah terjadi PHK bagi sebanyak 101.536 pekerja di seluruh Indonesia, termasuk di Kabupaten Sleman, DIY, dengan 217 orang pekerja dari 37 perusahaan yang berbeda. Jumlah pekerja yang terdampak PHK diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun 2024.
Kondisi ini menjadi sebuah ironi, mengingat tenaga kerja memegang peranan penting dalam berbagai jenis serta tingkatan kegiatan produksi dalam perusahaan. Terlebih, kesejahteraan dan tingkat ekonomi sebuah negara bisa dilihat dari faktor tenaga kerjanya.
Pengamat Ekonomi Kerakyatan sekaligus Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si., mengatakan tingginya angka PHK ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya di sektor industri padat karya yang mengalami dampak dari lesunya pertumbuhan ekonomi global.“Saya kira memang banyak faktor yang menyebabkan gelombang PHK ini, terutama di sektor industri padat karya berorientasi ekspor seperti sektor garmen atau tekstil,” ujar Hempri saat diwawancara, Rabu (7/8) lalu.
Selain itu, menurut Hempri, maraknya produk-produk impor ilegal maupun penurunan daya beli masyarakat akibat devaluasi rupiah juga ditengarai menjadi faktor terjadinya gelombang PHK. Ditambah, proses transisi politik di Indonesia mendorong banyak perusahaan untuk wait and see melihat bagaimana dinamika politik yang akan terjadi, sehingga ikut berpengaruh.
Hempri berpendapat ada beberapa hal yang memang harus diantisipasi untuk mencegah agar gelombang PHK tidak memberikan efek yang lebih besar lagi. Sebagai negara dengan populasi nomer empat terbanyak di dunia dan akan mendapatkan bonus demografi di tahun 2030, peningkatan jumlah masyarakat yang kehilangan pekerjaan harus segera dicarikan solusi agar tidak mengganggu stabilitas negara.
Pertama, perlu ada evaluasi kembali mengenai Peraturan Menteri Perdagangan nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, karena peraturan ini dicurigai menjadi penyebab maraknya produk-produk impor yang berakibat pada lesunya industri di tanah air. “Jika perlu, aturan harus direvisi untuk memberikan perlindungan produk-produk dalam negeri dari serbuan produk impor,” tutur Hempri.
Kedua, perlu ada peningkatan daya beli masyarakat, misalnya dengan memberikan jaminan stabilitas harga sehingga terjangkau oleh masyarakat. “Bisa dengan mengadakan program-program bantuan sosial bagi keluarga tidak mampu, sehingga mereka bisa membeli produk-produk tersebut,” ucapnya.
Hempri menambahkan, ke depan perlu ada langkah lain untuk antisipasi korban PHK seperti penyelenggaraan program padat karya yang melibatkan masyarakat di dalamnya. Termasuk dalam konteks ini adalah penguatan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau Industri Kreatif. “Pengalaman selama ini sektor UMKM selalu mampu menjadi katup penyelamat perekonomian nasional. Kebijakan untuk memperkuat sektor UMKM menjadi salah satu solusi bagi masyarakat yang menjadi korban PHK,” tutup Hempri mengakhiri wawancara.
Penulis : Triya Andriyani
Editor : Gusti Grehenson
Ilustrasi : Freepik