Perdebatan mengenai kebebasan dan menjaga harmoni kehidupan dalam keberagaman telah berlangsung selama beberapa dekade dan masih menjadi polemik dalam literatur Hak Asasi Manusia (HAM), terutama yang terkait dengan kebebasan berekspresi, berkumpul, berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Aspirasi akan keharmonisan yang terkandung dalam gagasan perdamaian, kohesi sosial, dan ketertiban umum dipahami sebagai kebebasan yang memerlukan pembatasan tertentu sehingga hal ini selalu menjadi kontroversi. Bermula dari keprihatinan akan hal tersebut, Dr. Zainal Abidin Bagir pada sesi Keynote Address AAS-in Asia 2024, Rabu (10/07), di Grha Sabha Pramana, memberikan presentasi ‘Revisiting Freedom versus Harmony Debate: From Asian Values to Decolonization’.
Sebagai pemantik, Zainal memulai presentasinya dengan menanyakan perihal gagasan harmoni. Menurutnya, terciptanya harmoni atau kerukunan biasanya dilakukan dengan membatasi hak atas kebebasan individu dan masyarakat. “Pembatasan kebebasan memang diizinkan, jika dilakukan untuk melindungi ketertiban masyarakat. Pertanyaannya, apakah pembatasan kebebasan itu dapat dijustifikasi dengan baik, tidak berlebihan, dan mencapai tujuan pembatasan seperti kerukunan? Bahkan pembatasan ini dalam wacana HAM internasional pun masih intensif didiskusikan,” ucap Zainal
Presentasi Zainal melihat bagaimana perdebatan ini dalam konteks Asia, terutama di Asia Tenggara, dan khususnya di Indonesia. Terminologi HAM modern sering kali secara dramatis merujuk pada konsep HAM Eropa daripada klaim universalitas yang selama ini disampaikan. Oleh karena itu perlu adanya dekolonisasi pemahaman baru mengenai HAM yang sesuai dengan persepsi lokal untuk penegakan yang lebih efektif. Sebagai contoh di Indonesia, kebebasan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, kedaulatan negara, dan nilai-nilai agama.
“Indonesia bukan negara agama, beragam aliran dipandang sebagai pluralitas sehingga negara tidak ikut campur dalam keyakinan masing-masing aliran, namun negara akan ikut turun tangan ketika interaksi antar kelompok menyebabkan ketidakstabilan,” ujarnya. Ia menambahkan, negara memiliki kewajiban untuk merukunkan, termasuk memberi peringatan, melarang, dan menahan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Rachel Rinaldo, Associate Professor dari University of Colorado Boulder memberikan ulasan positif atas presentasi yang berjalan pada sesi Keynote Address tadi malam. “Pembicara utama malam ini, Zainal Abidin Bagir, sangat luar biasa. Terima kasih UGM dan AAS yang telah menyelenggarakan acara ini. Banyak panel dengan tema tidak biasa dan peserta yang terlibat, menjadikan kegiatan ini sebagai konferensi yang paling baik sejauh ini,” ungkapnya.
Dr. Zainal Abidin Bagir saat ini menjabat sebagai Direktur pada Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), sebuah konsorsium yang terdiri dari UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana. Memiliki minat pada isu-isu demokrasi dan keberagaman agama, ia terlibat dalam proses pengeditan beberapa buku bersama rekan sejawat internasionalnya, seperti ‘Indonesian Pluralities: Islam, Citizenship and Democracy’ yang diterbitkan oleh University of Notre Dame Press tahun 2021, ‘Varieties of Religion and Ecology: Dispatches from Indonesia’ yang diterbitkan oleh LIT Verlag tahun 2021. Zainal juga berperan sebagai editor pada buku ‘Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama: Suatu Tinjauan Kritis’ di tahun 2022, dan ‘Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama’ di tahun 2024. Selain itu, ia juga terlibat pada produksi serangkaian film dokumenter yang merupakan kolaborasi antara the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Boston University, dan Watchdoc Documentary sepanjang tahun 2019-2023.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto