Banyak bahasa daerah saat ini terancam punah karena tidak dilestarikan oleh para penuturnya, tidak diajarkan disekolah bahkan tidak menjadi perhatian utama dari pemerintah daerah setempat. Salah satu bahasa daerah yang tengah menjadi bahan riset dari tim peneliti UGM adalah eksistensi bahasa Enggano yang ada di pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu yang saat ini rentan terancam punah.
Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA, selaku peneliti Bahasa Enggano dari Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan bahwa bahasa Enggano semakin rentan punah lantaran hanya sekitar 30% dari penutur suku Enggano yang masih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. “Saya mengamati beberapa kepala suku di Enggano. Ironisnya, mereka sama sekali tidak mengenali bahasa Enggano yang telah dituliskan oleh orang asing. Hal ini menunjukkan bahwa pengucapan dan pelafalan bahasa Enggano sangat berbeda dari bahasa lainnya secara umum,” ujar Wening dalam Talk Show “Sinergi dan Aksi dalam Upaya Preservasi Bahasa Daerah” dan screening film Senja Kala Bahasa Enggano di Auditorium Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (23/10).
Dr. Aprillia Firmonasari, S.S., M.Hum., DEA., selaku Ahli Bahasa dari FIB UGM menuturkan Bahasa Enggano sendiri mengalami ancaman serius, dengan jumlah penutur yang semakin berkurang. Meski belum pernah ke Enggano, Aprilia mengatakan, ia pernah membimbing mahasiswa untuk melakukan penelitian mengenai kepunahan bahasa ini. Ia mengutip data terbaru dari Summer Institute of Linguistics (SIL) menunjukkan bahwa ada sebelas bahasa yang terancam punah di Indonesia, dan hilangnya satu bahasa berarti hilangnya warisan budaya yang tak ternilai. “Sehingga mungkin ada perlu usaha-usaha preservasi bahasa agar bahasa-bahasa yang terancam punah itu bisa kita lakukan strateginya,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Antropolog UGM Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., menekankan bahwa perlu adanya strategi untuk menghadapi situasi dimana bahasa daerah harus diajarkan secara sistematis di sekolah. “Perlu adanya guru-guru yang mau untuk menjadi guru bahasa daerah. Sayangnya, banyak orang yang menggunakan bahasa daerah tidak mengetahui tata bahasanya,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa buku pelajaran bahasa daerah perlu dikembangkan dengan komprehensif. Memiliki 700 bahasa daerah berarti kita membutuhkan banyak guru yang mampu mengajarkan bahasa-bahasa ini. Namun, masih sedikit orang yang menguasai tata bahasa daerah secara mendalam. Salah satu solusi yang ia usulkan adalah mendirikan museum bahasa, tempat orang bisa belajar dan mendengarkan percakapan dalam bahasa daerah. Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan ethnoscience untuk memperkaya pengetahuan tentang bahasa-bahasa ini.
Direktur Kajian dan Inovasi Akademik UGM sekaligus Produser Film dokumenter Senja Kala Bahasa Enggano, Dr. Agr.Sc. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut, M.Si, IPU, menyampaikan pihaknya membuat film dokumenter karena saat ini terdapat banyak cara untuk menyampaikan pesan penting kepada publik, salah satunya melalui media audiovisual. Video dokumenter, khususnya, menjadi pilihan yang sangat relevan, terutama bagi generasi muda yang lebih menyukai konten dalam bentuk visual. “Dari sudut pandang ini, film dokumenter tentang bahasa Enggano bukan hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengedukasi, tetapi juga sebagai alat untuk memperjuangkan pelestarian budaya dan bahasa yang tengah terancam punah,” katanya.
Selain itu, dipilihnya bahasa Enggano dipilih adalah karena Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk mengangkat berbagai aspek yang ada di pulau Enggano. Melalui kerja sama tersebut, pulau Enggano dijadikan sebagai laboratorium lapangan bagi UGM, sehingga berbagai penelitian dan program pengabdian masyarakat dapat dilakukan di sana. “Melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN), mahasiswa UGM juga terlibat dalam penggalian informasi dan pemahaman tentang kondisi budaya dan bahasa di pulau tersebut,” tandasnya.
Di film dokumenter Senja Kala Bahasa Enggano, digambarkan bahwa Bahasa Enggano saat ini berada dalam kondisi kritis, dengan jumlah penuturnya yang kian menurun. Hal itu disampaikan oleh ketua suku, atau yang dikenal sebagai Papuki di Enggano. Ia mencatat bahwa orang tua di komunitas ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari, sehingga anak-anak mereka jarang terpapar bahasa Enggano.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson