
Kasus meninggalnya seorang balita di Sukabumi, Jawa Barat, dengan tubuh dipenuhi cacing, menimbulkan keprihatinan publik terhadap masih rendahnya standar kebersihan dan intervensi kesehatan. Meskipun Kementerian Kesehatan sempat menegaskan kemungkinan lain penyebab kematian, seperti meningitis tuberkulosis atau infeksi lain yang lebih berat, kasus ini membuka mata bahwa cacingan masih menjadi ancaman nyata, bahkan di wilayah yang tidak tergolong tertinggal, terdepan, dan terluar.
Dosen parasitologi FK-KMK UGM Prof. dr. E. Elsa Herdiana, M.Kes., Ph.D., menilai bahwa kasus Sukabumi tersebut mencerminkan betapa masalah kecacingan belum sepenuhnya terkendali di Indonesia. Pasalnya, kasus cacingan yang parah seharusnya tidak wajar terjadi di era sekarang, terlebih di daerah yang sudah dijangkau fasilitas kesehatan. “Artinya, faktor risikonya masih ada, seperti sanitasi buruk, perilaku buang air besar ditempat terbuka, dan kurangnya kesadaran masyarakat,” ujarnya, Selasa (2/9).
Menurut Elsa, kecacingan dalam kasus ini disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau cacing gelang, yang menular melalui tanah (soil-transmitted helminth). Sebagian besar kasus memang tidak bergejala karena infeksi ringan, namun jika intensitas tinggi atau jumlah telur cacing yang tertelan banyak, sehingga kondisi bisa menjadi berat. “Cacing akan mengambil nutrisi dari tubuh inangnya. Jika dibiarkan, anak bisa mengalami malnutrisi, stunting, anemia, bahkan gangguan perkembangan kognitif. Pada kasus berat, cacing juga dapat bermigrasi ke organ lain, memicu peradangan pada usus buntu, abses di hati, hingga terhambatnya gerakan peristaltik usus yang dapat berujung kematian,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kaitan kecacingan dengan stunting dan gangguan kognitif tidak bisa diabaikan. Cacing mengambil zat gizi yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan otak anak, seperti protein, zat besi, zinc, serta vitamin. “Kekurangan gizi pada periode seribu hari pertama bisa menghambat perkembangan otak,” tambahnya.
Mengenai upaya pemerintah untuk mengantisipasi kejadian serupa, Elsa mengapresiasi program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Namun, ia menekankan bahwa intervensi tidak bisa berhenti pada pembagian obat saja. Sebab, obat cacing efektif menurunkan beban infeksi, tetapi tanpa perbaikan sanitasi dan perilaku, anak bisa terinfeksi karena lingkungannya. “Masalah utamanya pada kebiasaan buang air besar pada tempat terbuka yang masih terjadi di masyarakat. Telur cacing dari feses yang mencemari tanah akan menjadi sumber penularan,” paparnya.
Elsa menyebut pengalaman kesuksesan salah satu daerah di Yogyakarta pada 1970-an, yang berhasil menekan angka kecacingan melalui pembangunan jamban serta edukasi masyarakat. Ia menilai model kolaborasi lintas sektor serupa, melibatkan Kementerian PUPR, pemerintah daerah, hingga masyarakat harus digalakkan.
Sebagai rekomendasi, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, evaluasi berkala dengan memeriksa feses populasi sebelum dan setelah intervensi, juga pengawasan pada resistensi obat. “Kematian akibat cacingan sebenarnya bisa dicegah. Namun, dibutuhkan tanggung jawab bersama. Tidak cukup hanya pemerintah, tetapi juga peran keluarga, kader kesehatan, hingga masyarakat,” pungkasnya.
Kasus di Sukabumi menjadi pengingat bahwa kecacingan bukan sekedar masalah kesehatan anak, melainkan juga persoalan sanitasi dan kesadaran kolektif. Tanpa intervensi menyeluruh, ancaman serupa bisa kembali terulang di berbagai daerah.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik